“THE RULE OF LAW”
( Konsep Penegakan Hukum Humanis menuju Keadilan Substantif )
Oleh : Dr. Nurul Akhmad, SH, M.Hum.
————————————————————————————————–
ABSTRAK: In body politic that base in
principle” the rule of law” will not happen conflict will deliver
enforcer and legal institutiion in principle the rule of law there fundamental
values that provide a basis for to walk it government a country, that
is limit power by law, basic right protection wara country by country,
all members and obligatory country institution honour tall rule of
law, and all citizen has degree
equal before the law and governm. But, fact show happen conflict has
deliverred legal institutiion in handling various case, especially
criminal corruption. Base in principles the rule of law, so penega
supposed law that is, first , distribution existence power/ authority by law towards law enforcer institution to limit authority and avoid arbittrariness in penega law. Second, legality basis: that is every act law enforcer must be based on law. Third, authority power law enforce may not only convergent in one hand. Fourth, human right protection existence (ham) towards witness and victim in course of case. Fifth, judicature supervision to avoid existence intervesi and law sales in penangana case. Sixth, capainya justice at society based on material truth.
————————————————————————————————
LATAR BELAKANG.
Konflik antar lembaga penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) dengan Mabes Polri yang dikenal dengan Cicak versus Buaya merupakan
puncak konflik antar lembaga penegak hukum, yang sekaligus menjadi
potret buruk dan carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia.
Sebelumnya konflik antar lembaga penegak hukum dalam penanganan
perkara sudah sering terjadi namun tidak banyak diekpose oleh media
masa, sehingga tidak banyak diketahui oleh publik.
Terlepas siapa yang benar dan siapa yang
salah, tayangan berita media masa tentang konflik antar Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK) dan Mabes Polri, pada satu sisi merupakan
bentuk kebebasan pers dalam mengemban tugas dan fungsinya di era
reformasi, transparansi penegakan hukum oleh penegak hukum, adanya
ruang bagi peran serta masyarakat dalam penegakan hukum, serta adanya
kontrol oleh masyarakat terhadap proses penegakan hukum. Namun, pada
sisi yang lain, tayangan berita seperti itu akan berdampak merunnya
kepercataan masyarakat (decreased it society belief ) terhadap lembaga dan penegak hukum.
Sebagai negara hukum yang mendasarkan pada prinsip-prinsp “the rule of law”
mestinya konflik antar lembaga seperti lembaga penegak hukum KPK dan
Mabes Polri tidak sampai terjadi karena di dalam negara hukum yang
menganut prinsip the rule of law kekuasaan atau kewenangan
bukan tidak tak terbatas atau dibatasi dengan undang-undang.
Sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Idonesia 1945
(amandemen) menegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum, hal ini mensyaratkan kepada seluruh penyelenggara
Negara dan warga negaranya harus taat terhadap hukum[1].
- dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan;
- Sistem hukum yang bersifat nasional;
- Adanya peradilan bebas
[1] Dalam perkembangannya konsep negara
hukum mengalami penyempurnaan, yang secara umum di antaranya yitu,
(1)Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat, (2)
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan, (3) Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara), (4Adanya
pembagian kekuasaan dalam negara (5) Adanya penga-wasan dari
badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan
mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benarbenar tidak memihak
dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif, (6) Adanya peran
yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut
serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan
oleh pemerintah, (7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin
pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga
negara.
Jika penegak hukum bersikap
konstitusional atau konsisten dengan peraturan perundang-undangan ,
khususnya dalam penegakan hukum (law enforcement) tidak akan terjadi konflik antar lembaga penegak hukum karena kekuasaan atau kewenangan (power or authority )
masing-masing lembaga penegak hukum diatur dalam undang-undang.
Misalnya, tugas, peran, dan fungsi, serta kewenangan Polri di atur
dalam UU No. tentang Kepolisian Republik Indonesia. Tugas, peran, dan
fungsi serta kewenangan KPK di atur di atur dalam UU 30 Tahun 2002.
Tugas Kekuasaan atau Kewenangan Kejaksaan diatur dalam UU No.
Tugas, peran, dan fungsi serta kehakiman diatur dalam UU No. 4 tahun
2004. Tugas, peran, dan fungsi serta kewenangan (MA) diatur dalam UU
No. tahun 2004.
Dalam penegakan hukum pidana ( criminal law enforcement ) semua penegak dan lembaga hukum di Indonesia seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman harus tunduk (horen gehoorzamen ) kepada KUHP, KUHAP, UU 31 tahun 1999/ UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi.
Di dalam undang-undang semua kewengan
masing-masing lembaga penegak hukum secara ekplisit dan limitatif telah
diatur denan jelas, sehingga tidak terjadi konflik kewenangan (authority conflict ) dalam penegakan hukum oleh lembaga penegak hukum.
Konflik antar lembaga penegak hukum di semua tingkatan harus dihindari karena dapat mengurangi kepercayaan (decrease belief)
masyarakat terhadap penegak dan lembaga hukum dan umumhya kepada
pemerintah, menganggu kelancaran proses penegakan hukum, berpotensi
terjadinya konflik fertikal dan horisontal di masyarakat, dan masuknya
penumpang gelap (dark occupant) yang amenjadikan suasana semakin tidak kondusif.
2. IDENTIFIKASI MASALAH.
Dalam negara hukum yang mendasarkan pada prinsip “the rule of law”
tidak akan terjadi konflik antar penegak dan lembaga hukum dalam
prinsip the rule of law ada nilai-nilai fundamental yang mendasari
berjalannya pemerintahan suatu negara, yaitu pembetasan kekuasaan oleh
undang-undang, perlindungan hak asasi wara negara oleh negara, semua
warga dan lembaga negara wajib mennjungjung tinggi supremasi hukum, dan
semua warga negara mmeiliki derajat yang sama di depan hukum dan
pemerintahan. Namun, fakta memperilihatkan telah terjadi konflik antar
lembaga hukum dalam penanganan berbagai perkara, khususnya perkara
pidana korupsi. Seperti konflik perkara Bank Century antara kepolisian
dan KPK, Konflik perkara suap antara kepolisian, KPK, dan kejaksaan.
Konflik antara KPK, kepolisian dan kejaksaan merupakan konflik kewenangan (authority conflict
) yang dipicu oleh para makelar kasus ( case broker ) yang ingin
mengatur, mengendalikan, dan memenangkan perkara yang masih dalam
proses penanganan perkara oleh penegak hukum di lembaga hukum. Broker
perkara inilah yang selama ini menjadi faktor potensi atau pemicu
munculnya konflik antar penegak dan lembaga penegak hukum di Indonesia.
Konflik antar lembaga penegak hukum yang dipicu adanya konflik kepentingan ( conflict of interest
) para penegak hukum dan para makelar kasus ini semestinya tidak
terjadi apabila semua penegak dan lembaga hukum memiliki sikap
idealisme, profresionalisme, dan komitmen yang sama untuk “mewujudkan rasa keadilan di masyarakat (realize sense of justice at society ).
Dari uraian latar belakang dan lingkup
permasalahan di atas dapat diidentifikasi permasalahan atas konflik yang
terjadi dalam penegakan hukum oleh penegak dan lembaga hukum yaitu, (1)
Apa saja yang menjadi potensi/faktor munculnya konflik antar lembaga
penegak hukum dalam proses penegakan hukum ? (2) Apa yang menjadi
kendala dalam mewujudkan kerjasama yang yang baik antar lembaga penegak
hukum dalam proses penegakan hukum ? (3) Bagaimamana pola pembagian
kewenangan dalam penegakan hukum secara konatitusional ? (4) Apakah
terdapat/tidak dukungan masyarakat terhadap pencegahan konflik antar
lembaga penegak hukum dalam proses penegakan hukum di Jawa Tengah.
Permasalahan tersebut akan mengantarkan kita untuk mengetahui hal-hal seperti, (1) Apa
saja yang menjadi potensi/faktor munculnya konflik antar lembaga
penegak hukum dalam proses penegakan hukum, (2) Kapan poten konflik
antar lembaga penegak hukum muncul dalam proses penanganan perkara, (3)
Bagamamana penerapan kerjasama yang baik ( good agreemen )
dalam penanganan peerkara antar lembaga penegak hukum di Jawa Tengah,
(4) Terdapat /tidak dukungan masyarakat dalam penerapan kerjasama yang
baik antar lembaga penegak hukum dalam penenganan perkara.
III. TINJAUAN PUSTAKA
(1) Konsepsi Negara Hukum.
Indonesia sebagai Negara Hukum Konsep
negara hukum telah lahir beberapa tahun sebelum Masehi yang dikembangkan
oleh Plato dan Aristoteles, kemudian pada abad ke 19 konsep Negara
hukum lebih dikembangkan lagi oleh AV Dicey dengan konsepnya Rule of Law yang dikembangkan di negara Eropa Continental, dan Frederich Julius Stahl dengan konsepnya Rechtsstaat yang dikembangkan di Negara-negara Anglo Saxon.
Indonesia sebagai Negara hukum
sebagaimana diamanatkan didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia
adalah Negara Hukum”. Sebagai konsekuensi dari Indonesia sebagai Negara
Hukum yang mendasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka segala aspek kehidupan dan bidang
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum.
Sebagai Negara Hukum, dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara tentunya tidak terlepas dari
Peraturan Perundang-Undangan sebagai hukum positif yang berlaku di
Indonesia.
(2) Sejarah Negara Hukum
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomkokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing.
Tahir Azhary dalam bukunya Negara Hukum
sebagai dikutip oleh Ridwan HR, yaitu secara embrionik, gagasan negara
hukum telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal-bakal pemikiran tentang Negara hukum. Aristoteles mengemukakan ide Negara hukum yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles,
yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang
adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang
akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan
semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum”,
karena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas
keadilan. Dalam Negara seperti ini, keadilanlah yang memerintah dan
harus terjelma di dalam Negara, dan hukum berfungsi memberi kepada
setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.
Ide negara hukum menurut Aristoteles ini,
nampaknya sangat erat dengan “keadilan”, bahkan suatu negara akan
dikatakan sebagai negara hukum apabila suatu keadilan telah tercapai.
Konstruksi seperti ini mengarah pada bentuk Negara hukum dalam arti
“ethis” dan sempit, karena tujuan Negara semata-mata mencapai keadilan.
Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori-teori ethis,
sebab menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut Aristoteles,
suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi
dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang
berkonstitusi yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan
dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan
konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi
berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa
paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan yang berkuasa. Dalam
kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan
bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan
menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir
dari setiap masyarakat. Selain itu, konstitusi merupakan aturan-aturan
dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.
Konsep Negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir beberapa puluh tahun sebelum masehi.
Pada perkembangan berikutnya kelahiran
konsep Negara hukum sesudah masehi didasarkan pada sistem pemerintahan
yang berkuasa pada waktu itu, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
beberapa ahli. Machiavelli (1469-1527) seorang sejarawan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang terkenal ”II Prinsipe (The Prince)” tahun 1513. Beliau hidup pada masa intrik-intrik dan peperangan yang terus-menerus di Florence,
dimana pada waktu tata kehidupan berbangsa dan bernegara lebih
mengutamakan kepentingan Negara. Tata keamanan dan ketentraman,
disamping keagungan Negara, harus merupakan tujuan Negara, supaya Italia
menjadi suatu Negara nasional. Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita
itu raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma agama atau
pun norma-norma akhlak. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan
mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti
halnya juga binatang. Penguasa menurut
beliau, yaitu pimpinan Negara, haruslah mempunyai sifat-sifat seperti
kancil untuk mancari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan
serigala. Demikianlah beberapa anjuran Machiavelli kepada raja untuk menerapkan absolutisme dalam Negara. Maksudnya agar Negara Italia menjadi Negara besar yang berkuasa.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak
dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem
konstitusional, yaitu sistem pemerintahan yang berdasarkan konstitusi.
Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan
harus didasarkan pada hukum konstitusi. John Locke mengemukakan, kekuasaan raja harus dibatasi oleh suatu “leges fundamentalis”.
Di Perancis, pelopornya antara lain Montesquieu (1688-1775) dan J.J. Rousseau (1746-1827). Di Negara ini pun Renaissance dan Reformasi berkembang
dengan baik. Perjuangan hak-hak asasi manusia di Perancis itu memuncak
dalam revolusi Perancis pada tahun 1789, yang berhasil menetapkan
hak-hak asasi manusia dalam “Declarationdes Drots de I’homme et du Citoyen”, yang pada tahun itu ditetapkan oleh “Assemblee National” Perancis serta pada tahun berikutnya dimasukkan ke dalam Constitution. 11 Sedangkan di Amerika Serikat sebelumnya, yaitu pada tanggal 4 Juli 1776 sudah dirumuskan dalam “Declaration of Independent”.
Jadi dengan adanya perlindungan terhadap
hak asasi manusia maka kekuasaan absolut dari raja lama kelamaan semakin
susut dan bersama-sama dengan itu kebutuhan akan Negara hukum makin
mantap.
Lebih lanjut Budiono mengatakan sebagai
berikut: “pada babak sejarah sekarang, sukar untuk membayangkan Negara
tidak sebagai Negara hukum. Setiap Negara yang tidak mau dikucilkan dari
pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI paling sedikit
secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai Negara hukum. Dalam
Negara hukum, hukum menajadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita
bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan permainan
untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga
perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.
Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik
sektarian dan primordial melainkan kepada cita-cita politik dalam
kerangka kenegaraan.
Lebih lanjut
para ahli yang menganut faham kedaulatan berpendapat bahwa hukum
bukanlah semata-mata apa yang secara formal diundangkan oleh badan
legislatif suatu Negara. Hukum (dan kedaulatan sebagai aspeknya)
bersumberkan perasaan hukum anggota-anggota masyarakat. Perasaan hukum
adalah sumber dan merupakan pencipta hukum. Negara hanya memberi bentuk
pada perasaan ini. Hanya apa yang sesuai dengan perasaan hukum itulah
yang benar-benar merupakan hukum.
Hugo Krabbe sebagai salah seorang ahli yang mempelopori aliran ini berpendapat bahwa Negara seharusnya Negara hukum (rechtsstaat) dan
setiap tindakan Negara harus didasarkan pada hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan pada hukum. Kalau diperhatikan lebih jauh ke
belakang, konsep kedaulatan yang didasarkan pada hukum ini adalah suatu
reaksi atas prinsip ajaran kedaulatan Negara. Menurut teori kedaulatan
Negara, segala sesuatu dijalankan dalam setiap kebijaksanaan Negara,
karena Negara diberi kekuasaan yang tidak terbatas. Para penganut paham
ini beranggapan bahwa hukum tidak lain dari kemauan Negara itu sendiri
yang dikonkretkan. Dalam perkembangan selanjutnya para ahli menganggap
bahwa paham kedaulatan Negara tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya
mereka berpaling ke supremasi hukum sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi. Aliran ini lebih memperhatikan realitas dengan
menyataan-kenyataan sejarah. Bahkan lebih ekstrim lagi kita melihat
prinsip Negara dan hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang
mengatakan bahwa pada hahekatnya Negara adalah identik dengan hukum,
karena itu tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib Negara.
Pandangan Hans Kelsen di
atas adalah yang paling ekstrim dari pengikut paham kedaulatan hukum.
Bahkan beranggapan bahwa Negara semata-mata konstruksi hukum belaka,
karena itu beliau mendapat kritikan-kritikan yang tidak hentihentinya
dari ahli-ahli lain. Teristimewa dari sosiolog-sosiolog, karena ia
dianggap anti sosiologi. Hans Kelsen dianggap
meremehkan peranan dan manfaat sosiologi di dalam penelaahannya mengenai
Negara. Memang disadari bahwa Negara bukanlah semata-mata menjadi objek
hukum sendiri atau Negara tidak mutlah identik dengan hukum sebagaimana
pendapat Kelsen itu. Tapi selain ilmu hukum, masih banyak lagi disiplin
ilmu lain yang menjadikan Negara sebagai objek pembahasan. Hal ini
dapat kita lihat pada beberapa disiplin ilmu, seperti ilmu politik, ilmu
pemerintahan, sosiologi serta ilmu lainnya.
Selanjutnya, meskipun ide tentang Negara
hukum telah lama diungkapkan oleh para ahli, namun dipandang dari segi
penggunaan istilah “Negara hukum”, istilah tersebut sebenarnya baru
mulai tampil ke muka dalam abad kesembilan belas sebagaimana yang
dikembang oleh A.V Dicey dengan konsep Negara hukum Rule of Law di Negara Anglo Saxon, dan Frederich Julius Stahl dengan konsep Negara hukum Rectsstaats di Negara Eropa Continental.
(3) Unsur-unsur Negara Hukum
Gagasan tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato, Aristoteles, John Lock, Montesque dan
sebagainya masih bersifat samarsamar dan tenggelam dalam waktu yang
sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad
ke-19, yaitu dengan munculnya konsep Rechsstaat yang dikembangkan oleh Frederich Julius Stahl di Eropa Contiental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah:
- Perlindungan hak-hak asasi manusia;
- Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
- Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan; dan
- Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule of Law) yang dikembangkan oleh A.V Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of Law sebagai berikut :
- Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power);
- Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat.
- Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Konsep Rule Of Law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “Common Law”. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan
Karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada
kekuasaan raja. Pada Zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja
ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian
didelegasi kepada pejabatpejabat administratif yang membuat
pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus
suatu sengkata. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah
mengherankan kalau dalam sistem continental-lah mula pertama muncul
cabang hukum baru yang disebut “droit administraf “ dan inti dari “droit administraf“
adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat, di Kontinen
dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara
(hukum administrasi dan peradilan administrasi).
Dalam perkembangannya konsep negara hukum
tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat
dilihat di antaranya:
- Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
- Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
- Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
- Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
- Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;
- Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
- Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Perumusan unsur-unsur negara hukum ini
tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik yang melatarbelakanginya,
terutama pengaruh falsafah individualisme, yang menempatkan individu
atau warga negara sebagai primus interpares dalam kehidupan
bernegara. Oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan Negara untuk
melindungi hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat
membatasi kekuasaan Negara ini semakin kental segera setelah lahirnya
adagium yang begitu popular dari Lord Acton, yaitu “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”; (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolute)
pasti akan disalahgunakan). Model Negara hukum seperti ini berdasarkan
catatan sejarah dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional, dengan
ciri bahwa pemerintah yang demoktratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap
warga negaranya. Pembatasan-pembatasan sering disebut “pemerintah
berdasarkan kontitusi” (constitutional government).17 Meskipun
tidak semua Negara yang memiliki konstitusi diilhami oleh semangat
individualisme, semangat untuk melindungi kepentingan individu melalui
konstitusi dianggap paling memungkinkan, terlepas dari falsafah Negara
yang bersangkutan. Dengan kata lain, esensi dari Negara berkonstitusi
adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Atas dasar itu,
keberadaan konstitusi dalam suatu Negara merupakan condition sine quanon.
(4) Indonesia Sebagai Negara Hukum
Negara berdasarkan hukum ditandai oleh
beberapa asas, antara lain asas bahwa semua perbuatan atau tindakan
pemerintahan atau negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu
yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Campur
tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya
dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim
disebut asas legalitas kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum antara lain Peraturan Perundang-Undangan.
Menurut Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar tentang Rechtsstaats. Hal ini dapat dimengerti dalam banyak hal, antara lain Indonesia merupakan negara yang mengikuti Belanda dan menganut ide Rechtsstaats.
Selain salah satu asas yang telah disebutkan diatas Prajudi
Atmosudirdjo menyebutkan bahwa asas-asas pokok negara hukum ada tiga,
yakni: (1) Asas monopoli paksa (Zwangmonopoli); (2) Asas persetujuan rakyat; (3) Asas persekutuan hukum (rechtsgemeenschap).
Asas monopoli paksa berarti, bahwa:
monopoli penggunaan kekuasaan negara dan monopoli penggunaan paksaan
untuk membuat orang menaati apa yang menjadi keputusan penguasa negara hanya berada di tangan pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk itu. Jadi siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang,
artinya barang siapa melakukan penggunaan kekuasaan negara dan
menggunakan paksaan tanpa wewenang sebagaimana dimaksud di atas disebut ‘main hakim sendiri’.
Asas persetujuan Rakyat berarti, bahwa
orang (warga masyarakat) hanya wajib tunduk, dan dapat dipaksa untuk
tunduk, kepada peraturan yang dicipta secara sah dengan persetujuan
langsung (Undang-Undang formal) atau tidak langsung (legislasi
delegatif, peraturan atas kuasa Undang-Undang) dari Dewan Perwakilan
Rakyat. Jadi bilamana ada peraturan (misalnya: mengadakan pungutan
pembayaran atau “sumbangan wajib”) yang tidak diperintahkan atau
dikuasakan oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah, dan Hakim
Pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena
tidak mau menaatinya, dan bilamana Pejabat memaksakan peraturan
tersebut, maka dia dapat dituntut sebagai penyalahgunaan kekuasaan
negara, minimal digugat sebagai perkara “perbuatan penguasa yang melawan hukum”.
Asas persekutuan hukum berarti, bahwa: Rakyat dan penguasa Negara bersamasama merupakan suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap, legal partnership),
sehingga para Pejabat Penguasa Negara di dalam menjalankan tugas dan
fungsi beserta menggunakan kekuasaan negara mereka tunduk kepada hukum (sama dengan Rakyat/warga
masyarakat). Berarti baik para pejabat penguasa negara maupun para
warga masyarakat berada di bawah dan tunduk kepada hukum (Undang-Undang)
yang sama.
Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang
dikemukakan oleh Burkens, et.al., sebagaimana dikutif oleh Philipus M.
Hadjon dalam tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia adalah :
- Asas legalitas: setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar Peraturan Perundang-Undangan (wetterlikegrondslag). Dengan landasan ini Undang-Undang format dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk Undang-Undang merupakan bagian penting Negara hukum;
- Pembagian kekuasaan: syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan;
- Hak-hak dasar (grondrechten): hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi pembentukan Undang-Undang;
- Pengawasan peradilan: Bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan (rechtmatigeidstoetsing).
Sebelum Undang-Undang Dasar 1945
diamandemen, dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara
ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Undang-Undang
Dasar Negara Republik Idonesia 1945 (amandemen) menegaskan dalam Pasal 1
ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini
mensyaratkan kepada seluruh penyelenggara Negara dan warga negaranya
harus taat terhadap hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 adalah merupakan manifestasi dari konsep dan alam pikiran Bangsa
Indonesia yang lazim disebut dengan Hukum Dasar Tertulis. Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai Hukum Dasar Tertulis, hanya memuat dan mengatur
hal-hal yang prinsip dan garis-garis besar saja.
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
- Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum;
- Pembukaan dicantumkan kata-kata : Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
- Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya;
- Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
- Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
- Bab X A Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan;
- Sistem hukum yang bersifat nasional;
- Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
- Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;
- Adanya peradilan bebas.
Selanjutnya di dalam penyelenggaraan negara Indonesia sebagai negara hukum telah dikembangkan konsep checks and balances, seperti
adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Hal lain sebagaimana dikemukakan di
dalam konsiderans Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme huruf a,
yaitu ”pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga
eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Selain itu juga telah dikembangkan
lembaga-lembaga ekstra struktural baik yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang maupun dengan Keputusan (Peraturan) Presiden tentang
lembaga-lembaga yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintah,
seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemeriksa Korupsi, Komisi Ombudsmand dan sebagainya.
Lebih lanjut sebagai implementasi dari Tap MPR No. XI/MPR/1998 dalam upaya menciptakan good governance telah
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, bahwa
didalam negara hukum didalam penyelenggaraan negara harus mengacu kepada
asas-asas umum penyelenggaraan negara, yaitu :
- Asas Kepastian Hukum;
- Asas Kepentingan Umum;
- Asas Keterbukaan;
- Asas Proporsionalitas;
- Asas Profesionalitas; dan
- Asas Akuntabilitas.
Indonesia sebagai negara hukum segala
sesuatu harus berdasarkan kepada hukum, yang diimplementasikan kepada
Peraturan Perundang-undangan yang ada sebagai manifestasi dari hukum
positif, dan dalam rangka penegakkan hukum telah dibentuk berbagai
lembaga peradilan sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum dan
melindungan hak-hak setiap warga negara Indonesia.
III. PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN PRINSIP THE RULE OF LAW.
Dari hasil obsevasi di lapangan (obsevasi at field) konflik antar lembaga negara hukum dapat terjadi karena pertama perbedaan
penafsiran hukum oleh penegak hukum dalam penangan perkara, hal ini
sering terjadi antara kepolisian, kejaksaan, dan hakim. Kedua, adanya intervensi kewenangan (authority intervention ). Ketiga, besarnya konflik kepentingan (conflict of interest ) dalam proses penangana suatu perkara.
Perbedaan penafsiran hukum oleh penegak hukum ( law interpretation difference ), intervensi kewenangan (authority intervention ), dan konflik kepentingan (conflict of interest
) menjadi faktor utama terjadinya konflik antar lembaga penegak hukum
dalam proses penanganan perkara, disamping faktor pengaruh personal dan
lingkungan (masyarakat).
Siapa atau lembaga mana ? yang secara
konstitusional memiliki kewenangan untuk menyelesaikan konflik antar
lembaga penegak hukum tersebut.. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (amandemen )
disebutkan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar.
Dari hasil observasi di lapangan
memperlihatkan kinerja lembaga penegak hukum di Jawa Tengah (
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) relatif masih baik dan kondusif,
namun bukan bearti tidak ada persoalan. Untuk mencegah terjadinya
konflik antar lembaga penegak hukum dalam penanganan perakara sangat
dipandang perlu dicarikan pola penerapan kerjasama yang baik di
lingkungan penegak hukum dengan mendasarkan pada peinsip-prinsip the
rule of law.
Lembaga-lembaga penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan komisi pembernatasan korupsi
(KPK) yang dibentuk berdasarkan undang-undang adalah merupakan lembaga
negara yang bertugas menjalankan fungsi pemerintahan di bidang
ketertiban, keamanan, serta penegakan hukum.
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (
amandmen ) presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, maka
secara konstitusional memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
mengendalikan dan mengkontrol lembaga-lembaga penegak hukum d alam
menjalankan tugas, peran, fungsi, serta kewenangannya. Dalam wilayah
kewenangan (authority area ) ini presiden harus bebas dari kepentingan ( free from importance ) kecuali kepentingan untuk menegakkan kebenaran dan rasa keadilan di masyarakat.
Presdien harus segera mengambil
langkah-langkah yang cepat, strategis, serta efektif untuk segera
menyelesaikan konflik antara KPK dan Mabes POLRI karena konflik antar
lembaga penegak hukum tersebut tidak hanya menimbulkan keresahan yang
luas ( vast unrest ) di masyarakat , tetapi juga menjadi sorotan dunia internasional, terutama negara-negara yang sedang memerangi korupsi.
Secara konstitusional, jika presiden
dipandang lambat menyelesaikan konflik antara kepolisian dan KPK, maka
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku pemegang kedaulatan rakyat
rakyat sebagai mana Pasal 1 ayat (1) UUD ( amandemen) yaitu “Keaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar
dapat meminta klarifikasi kepada presiden berkaitan dengan permasalahan
dan langkah-langkah yang sudah dilakukan diambil berkiatan dengan
konflik antara kepolisian dan KPK.
Konflik antar lembaga hukum mestinya
tidak terjadi jika masing-masing penegak hukum bekerja sesuai dengan
tugas, fungsi, peran, dan wewenangnya masing-masing sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dan pedoman pelaksanaan
tugas. Yang tidak kalah penting dari itu yaitu idealisme dan
profesionalisme harus tetap dijunjung tinggi oleh setiap penegak dan
lembaga hukum sebagai kekuatan kontrol (control strength ) diluar kontrol undang-undang.
Mendasarkan pada prinsip-prinsip the rule of law, maka penegakan hukum yang diharapkan yaitu :
- Adanya pembagian kekuasaan/ kewenangan (distribution existence power/ authority ) oleh undang-undang terhadap lembaga penegak hukum untuk membatsasi kewenangan dan menghindari kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum .
- Asas legalitas: yaitu setiap tindak penegak hukum harus didasarkan atas undang-undang.
- Kekuasaan /kewenangan penegakan huk,um tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan (one hand ) ;
- Adanya perlindungan hak asasi manusia ( HAM) terhadap saksi dan korban dalam proses perkara (
- Pengawasan peradilan untuk menghindari adanya intervesi dan jual beli hukum dalam penangana perkara.
- Tercapainya keadilan berdasarkan kebenaran materiil.
Untuk mewujudkan keadilan yang substantif
dalam penegakan hukum, khususnya dalam penegakan hukum pidana, maka
setiap kebenaran uintuk mewujudkan keadilan itu harus dibangun dari
nilai-nilai kebenaran secara materiihal. Inilah hal yang sangat
fondamentalis dalam ssitim peradilan pidana ( SPP).
Pola penerapan kerjasama dalam penegakan
hukum oleh lembaga hukum yang mendasarkan prinsip the rule of law
menstaratkan pertma, Menolak adanya intervensi kewenangan (averse authority intervention existence) oleh sesama lembaga penegak hukum. Kedua, adanya otoritas yang penuh (authority full )
oleh lembaga penegak hukum dalam menangani perkara. Ketiga, kerjasama
penanganan perkara antar lembaga penegak hukum terjadi karena perintah
undang-undangn ( law command ). Keempat, menjunjunjung tinggi hak asasi manusia (honour and protect human right ) terdakwa, saksi, dan korban dalam proses penanganan perkara[2]. Keenam, perlunya perlindungan saksi dan korban (witness protection and victim) selama dalam proses perkara, baik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau di lembaga yang lainnya.
Mendasarkan pada konstitusi UUD 1945 (
amandemen ), maka pola penerapaan kerjasama, kontrol, dan pengendalian
penegakan hukum di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut :
|
K
Presiden selaku kepala pemerintahan
bertanggungjawab penuh terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Tanggungjawab presiden untuk menegakkan hukum dan keadilan secara
konstitusional dilaksanakan oleh kejaksaan, kepolisian, pengadilan (
kehakiman), Komisi Pemberantasan Koruspi ( KPK) selaku lembaga negara
yang yang menjalankan fungsi pemerintahan di bidang penegakan hukum.
Selaku lembaga negara dibawah presiden
yang tugasnya membantu presiden menjalankan fungsi pemerintahan di
bidang penegakan hukum, maka kejaksaan, kepolisian, pengadilan dalam
menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada presiden selaku kepala
negara dan kepala pemerintahan. Dalam hal ini presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan memiliki tanggungjawab secara
konstitusional untuk melakukan kontrol dan mengendalikan (do control and restrain) terhadap semua lembaga penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Terhadap adanya carut marut penegakan hukum di Indonesia, masih adanya diskriminasi hukum (law discrimination),
semakin jauhnya hukum dari keadilan, maraknya konflik antar lembaga
hukum, menhindikasikan lemahnya kontrol dan pengendalian terhadap
lembaga penegak hukum oleh presiden.
Menjunjung Tinggi Asas Legalitas
Prinsip penegakan hukum yang mendasarkan
pada prinsip the rule of law harus selalu menjunjung tinggi asas
legalitas. Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam
konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi :
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjun.jung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Dari bunyi kalimat di atas dapat kita simak :
• Negara Republik Indonesia adalah “Negara Hukum”, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
• Negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan;
• Setiap warga negara “tanpa kecuali”, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.
Jelaslah bagi kita, KUHAP sebagai hukum
acara pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas
legalitas. Pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law, yang mengharuskan semua tindakan penegakan hukum harus :
- berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-Undang,
- menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan Supremasi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain.,tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan.
Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of low dan supremasi hukum jajaran apsrrat penegak hukum tidak dibenarkan :
- bertindak di luar ketentuan hukum, atau undue to law maupun undue procees.
- bertindak sewenang-wenang, atau abuse of power.
Setiap orang, baik dia tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan :
- sama sederajat di hadapan hukum, atau equal before the law.
- mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum, equal protection the law.
- mendapat “perlakuan keadilan” yang sama di bawah hukum, equal justice under the law.
Implementasi prinsip-prinsip the rule of
law yang menjunjung tinggi asas legalitas dalam penegakan hukum harus
menghindari sejauh an mungkin :
- Penekanan terhadap saksi, korban, dan tersangka/ terdakwa dalam proses penangan perkara ( penyidikan/pembuatan berita acara pemeriksaan).
- Pelanggaran hak asasi manusia terhadap saksi, korban, tersangka dalam proses penanganan perkara.
- Rekayasa perkara terutama dalam pembuatan berita acara pemeriksaan saksi, korban, dan tersangka.
IV. PENUTUP.
Penegakan hukum humanis dapat dilakukan apabila prinsip-prinsip the rule of law
dan asas legalitas selalu dijunjung tinggi dalam setiap penegakan hukum
oleh penegak dan lembaga hukum. Disamping itu, dalam penegakan hukum
harus menjunjung tinggi idealisme, profesionalisme, serta etika profesi.
Harus selalu dihindari rekayasa-rekayasa dalam penanganan perkara
karena keadilan dan kebenaran yang didapat akan bersifat semu dan tidak
mencerminkan rasa keadilan yang sesungguhnya, disamping berpotensi
menimbulkan konflik secara horisontal di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997.
A. Hamid, S.A., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi (tidak dipublikasikan), Jakarta, 1990.
A.Hamid S.Attamimi, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijaksanaan, Makalah Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 20 September 1993.
A.Hamid S.Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan, Makalah disampaikan pada Pidato Dies Natalis PTIK ke-46, Jakarta 17 Juni 1992.
BagirManan, Keputusan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional, disajikan
pada Pertemuan Ilmiah Tahun 1994 di BPHN.
Binawan Andang L AI, Menurut Logika Legislasi, Jentera, Jurnal Hukum, Legislasi, edisi 10 tahun II Oktober 2005.
CST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984.
Debaene Stijn, Van Kuyck Raf, Van Buggenhout Bea;Legislative Technique as Basis of a Legislative Drafting System, Institute of Social Law-Infosoc, Katholieke Universitiet Lauven, Belgium.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Perum Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan Ketiga, 1990.
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Tjetakan Kelima, Djakarta, 1959.
H. Machmud Aziz, S.H., Makalah Peraturan Perundang-Undangan, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Hikmahanto Juwana, Prof., Penyusunan Naskah Akademis Sebagai Prasyarat Dalam Perencanaan Pembentukan Rancangan Undang Undang, Bahan Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah Tahun 2006, Cisarua Bogor 4-6 Juli 2006.
Hong Kong Department of Justice; Legislative Drafting in Hong Kong (Crystallization in Definitive Form 2nd Edition).
Inge van der Vlies, Handboek Wetgeving, WEJ Tjeenk Willing, 1987.
Islamy Irfan. M. DR, Prinsip Prinsip Perumusan Kebijakan Negara.
Jimly Asshiddiqie, Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dan Problem
K. Ng. Soebakti Poesponoto, Pradya Paramita, Cetakan Ketiga, Jakarta, 1976. Binawan Andang L AI, Menurut Logika Legislasi, Jentera, Jurnal Hukum,
Keputusan Menteri Dalam Negeri, Nomor 167 tahun 2004 Tentang Pedoman Pembinaan Hukum Di Daerah
Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi dan Pengertian dan Pengembangannya, Projustitia, No. 2 Tahun V, Mei 1987.
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Oetarid Sadino, dari Inleiding tot de Studie van het Nederlanse Recht, Pradnya Paramita, Cetakan Keduabelas, Jakarta, 1973.
Legislasi, edisi 10 tahun II Oktober 2005. CST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Maria Farida Idrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Mcnair Deborah, “Ethics and Drafting”, Legislative Drafter: A Discussion of Ethical Standards from a Canadian Prespective, 24 (2) Statute Law Review 125, University of Ottawa, 2000.
Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum universitas Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2002.
NE.Algra en HCJG Jansenn, Rechtsingang, Een Orientatie in het Recht, HD Tjeenk Willink bv., Groningen, 1974. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar atas Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1982. Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
P.J. Boon, Wetgeving in Nederland, WEJ Tjeenk Willink Zwolle, 1986.
P.J.P.Tak, Prof., Mr., Rechtsvorming in Nederland (een inleiding) Open Universiteit, Samsom H.D. Tjeenk Wilink, Eerste druk, 1984.
Peraturan Daerah, www.theceli.com . Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi dan Pengertian dan Pengembangannya, Projustitia, No. 2 Tahun V, Mei 1987.
Peraturan Daerah, www.theceli.com.
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegda.
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden.
Prof. Dr. Hamid Attamimi, S.H, Hukum tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijaksanaan, Makalah Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 20 September 1993.
Prof. Dr. Hamid Attamimi, S.H, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi (tidak dipublikasikan), Jakarta, 1990.
Prof. Dr. Hamid Attamimi, S.H, Perbedaan antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan,
Makalah disampaikan pada Pidato Dies Natalis PTIK ke-46, Jakarta 17
Juni 1992. Bagir Manan, Keputusan Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional, disajikan pada
Pertemuan Ilmiah Tahun 1994 di BPHN.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Perum Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan Ketiga, 1990.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003.
Riyanto Budi, Dr,Drs,SH,Msi, Ragam Bahasa Peraturan Perundang-Undangan, Bahan Ajar Diklat Legal Drafting LAN RI, 2006.
S. Maulana Sony, Menggagas Pembahasan Rancangan Undang-Undang dengan Argumentasi Berdasarkan Fakta dan Logika, Jentera, Jurnal Hukum, Legislasi, Edisi 10 Tahun III Oktober 2005.
Saldi Isra dan Yuliandri, Penyusunan
dan Pengudangan Peraturan Perundangundangan, Analisis terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Bahan Diskusi dengan Tim Pusat Kajian HAN Lembaga
Administrasi Negara (LAN), Padang, 16 Juni 2004.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Buku Kedua Jilid 6 tentang Risalah Rapat Badan Pekerja Panitia Ad Hoc III Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, Jakarta, 1999. SF. Marbun dan Moh.Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, 1987. SF.Marbun, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1984.
SF. Marbun dan Moh.Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, 1987.
SF.Marbun, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003.
SF. Marbun dan Moh.Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, 1987.
SF.Marbun, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1984.
Soerjono SH, MPH, DR, dan Mansyuri Amak MM, Drs, Pemecahan Masalah Dan Pengambilan Keputusan (PMPK), Bahan Ajar DiklatPim Tingkat IV Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia 2001.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1984.
TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan
terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 1960 sampai Dengan Tahun 2002.
Tap MPR No. III/MPR/2003 Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan PerUndangan.
Thaib Dahlan, SH, Msi, H. DR, Hamidi Jazim SH,MH, dan Huda Ni’matul. Hj, SH M.Hum, Teori dan Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Undangan, Analisis terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Bahan
Diskusi dengan Tim Pusat Kajian HAN Lembaga Administrasi Negara (LAN), Padang, 16 Juni 2004.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah berdasarkan UNDANG-UNDANG No. 9 Tahun 2004.
Universiteit, Samsom H.D. Tjeenk Wilink, Eerste druk, 1984.
[1]
Dalam perkembangannya konsep negara hukum mengalami penyempurnaan, yang
secara umum di antaranya yitu, (1)Sistem pemerintah negara yang
didasarkan atas kedaulatan rakyat, (2) Bahwa pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
Peraturan Perundang-Undangan, (3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia (warga negara), (4Adanya pembagian kekuasaan dalam negara (5)
Adanya penga-wasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang
bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benarbenar
tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif, (6)
Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga
negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah, (7) Adanya sistem
perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
[2]
Dalam hal ini terdapat 4 (empat) dokumen internasional yaitu (a)
Declaration of basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse Power (General Assembly Resolution 40/34) ; (b) Implementation of
the Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse Power (ESOCOSOC Resolution 1987/57) ; (c) Victims of Crime and
Abuse of Power (ECOSOC Resolution 1990/22) ; (d) Protection of the human
Rights of Victims of Crime and Abuse of Power.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar