DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BARU
Oleh : Arif Hidayat
Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum
Administrasi Negara (LPP-HAN), Pengajar HTN/HAN Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Abstract
Constitutionalisme in UUD 1945 after changing to represent confession to principle of “the rule of law” and constitution is arranging and limiting power of according to constitutional system, so that law and the itself constitution built and up righted by democratize principles (democratische rechtsstaat), because principle of “the rule of law” of sovereignty comes from it self democracy. Hence, UUD 1945 embracing congeniality that Indonesia is democratische rechtsstaat and even as constitutional democracy. Thereby there is beliefe that there is positive correlation between life of democrazy and life an constitutionalism in Indonesia constitutional system after modernize of IV UUD 1945, if good democracy quality so quality of their constitution will be good and that way also on the contrary.
A. Pendahuluan
Berangkat dari realita historis ketatanegaraan, Indonesia sebagai salah satu negara pascakolonialisme menjadikan demokrasi sebagai salah satu prinsip ketatanegaraannya, namun hingga kini dapat dikatakan belum menemukan rute yang pasti dalam mewujudkannya.[1] Pada tingkat ide sesungguhnya para founding fathers menempatkan kedaulatan rakyat sebagai landasan untuk mengatur negara yang diwujudkan dalam sistem demokrasi, baik langsung maupun lewat perwakilan. Tetapi karena praktek-praktek manipulatif oleh kelompok elit pada masa Orde Lama dan Orde Baru, maka demokrasi sebagaimana dicita-citakan UUD 1945 berubah arah menjadi “demokrasi perwalian”. Pada masa Orde Lama, perubahan arah dari demokrasi ke demokrasi perwalian itu dimulai oleh Soekarno sendiri dengan ide Demokrasi Terpimpin, di mana Presiden mempresentasikan diri sebagai wali dalam setiap proses politik nasional. Sedangkan pada era Orde Baru, wali-nya adalah para Ketua Orsospol yang dilegalisasi oleh UU sistem politik.[2]
Pada masa reformasi, gagasan kedaulatan rakyat dan penegakan konstitusionalisme telah melahirkan pandangan mengenai constitutional reform atau perubahan UUD 1945 yang selama Orde Baru “disakralkan”.[3] Perubahan tersebut dilatarbelakangi kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances yang setara dan seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM).[4] Dimulai dengan Perubahan I UUD 1945 (1999), Perubahan II UUD 1945 (2000), Perubahan III UUD 1945 (2001)
[1] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jogjakarta: Gama Media, 1999) hlm. 9
[2] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Jogjakarta: Liberty, 1989), hlm. 37
[3] Satya Arinanto, Hukum Dan Demokrasi, (Jakarta: Ind Hill-Co, 1991), hlm. 59
[4] Benny K. Harman, ”Langkah-langkah Strategi Politik dan Hukum untuk Mewujudkan Independency of Judiciil”, disampaikan pada lokakarya Mencari Format Peradilan yang Mandiri, Bersih dan Profesional, Jakarta, 11-12 Januari 1999
dan Perubahan IV UUD 1945 (2002) yang begitu cepat sehingga telah mengakibatkan perubahan mendasar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia meskipun untuk dapat diterapkan, UUD hasil perubahan, sedikitnya memerlukan lebih dari 30-an UU organik yang tentu tak mudah dalam menyusunnya.
Dalam batas-batas tertentu, perubahan I UUD 1945 telah menggeser titik berat pemerintahan dari pihak eksekutif ke pihak legislatif,[5] keseluruhan proses perubahan itu mengeliminasi berbagai kewenangan presiden di satu sisi, namun memperluas kewenangan parlemen di sisi lainnya. Begitupun di dalam perubahan II UUD 1945, ada sekitar empat tema perubahan, yaitu: soal HAM, otonomi pemerintahan daerah, pertahanan dan keamanan negara serta soal wilayah, lambang negara dan warga negara. Dalam perubahan ini ada sekitar 5 pasal yang kian mengukuhkan berbagai kewenangan parlemen, misalnya parlemen akan mempunyai berbagai hak lain yang akan diatur oleh UU selain yang telah disebutkan secara limitatif dalam konstitusi seperti hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan hak imunitas di luar fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, sementara pemberhentian anggota parlemen akan diatur dalam UU. Perubahan III dan IV UUD 1945 telah mengubah hal-hal mendasar terkait dengan penegasan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD sekaligus penetapan kewenangan MPR, DPR dan DPD, penarikan ketentuan mengenai rule of law dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 dan lain-lain.
Berbagai fakta historik di atas menunjukkan bahwa parlemen sudah terbentuk dengan sistem dan kewenangan yang berbeda, namun instrumen yang berkaitan dengan keterwakilan demokratik merupakan persoalan paling strategis untuk dikaji demi mengatasi kelemahan utama demokrasi, mengingat tanpa adanya langkah-langkah konstruktif, inkonstitusionalisme dan otoriterianisme sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu akan terus berlangsung.
Pada dasarnya terdapat dua alasan utama yang melatarbelakangi tulisan ini. Pertama, pernyataan mengenai ketidaktentuan (ambiguitas) demokrasi. Alasan kedua adalah dengan mempertanyakan relevansi konstitusionalisme dengan demokrasi seakan menggugat kenyataan bahwa Indonesia yang berdasarkan konstitusi, belum pernah melahirkan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional secara substansial karena dalam perkembangan-nya selalu bergeser ke arah otoritarianisme.[6]
Oleh karena itulah, sebelum kita menyimpulkan bahwa suatu negara demokrasi yang membatasi pemerintah dengan konstitusi juga mempunyai pemerintahan konstitusional yang demokratis, kita mesti melihat bagaimana demokrasi dan konstitusi itu dipraktekkan dan secara khusus melihat apakah kebiasaan/tradisi berjalan memperkuat atau meperlemah pembatasan konstitusional tersebut. Atas dasar itu, upaya memahami realitas ketatanegaraan perlu didekati dari perspektif konstitusional secara sistematis-metodologik agar dapat memberikan arti penting, tidak saja pada dunia akademis tetapi juga bagi praktek ketatanegaraan, mengingat eksistensi konstitusionalisme yang menghendaki pembatasan dan pengendalian kekuasaan di satu pihak dan penjamin hak dan kebebasan di pihak lain secara gradual telah memunculkan suatu alternatif transisional seiring dengan perkembangan sistem dan praktek ketatanegaraan yang
[5] Didit Hariadi Estiko, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya terhadap Pembangunan Sistem Hukum, (Jakarta: Tim Hukum PPIP Sekretaris Jendral MPR), 2001, hlm.33
[6] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jogjakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 11
selalu berubah sesuai perkembangan politiknya. Alternatif transisional tersebut diperuntukkan agar dapat memastikan bahwa pemerintahan demokratis adalah juga pemerintahan konstitusional mengingat ketidak-sinkronan fungsi konstitusionalisme dengan pelembagaan demokrasi secara hukum akibat tindakan-tindakan politik penguasa di masa lalu. Tulisan ini akan memaparkan mengenai Interrelasi Demokrasi dan Konstitusionalisme dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Baru. Berbagai persepektif, baik tradisionalis, revivalis maupun modernis akan diketengahkan dalam tulisan ini.
B. Pembahasan
1. Kerangka Demokrasi dan Konstitusionalisme
Secara harfiah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratia yang berarti pemerintahan. Sedangkan secara istilah, demokrasi merupakan dasar hidup bernegara yang menempatkan rakyat dalam posisi berkuasa (government or role by people) sehingga pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Demokrasi dapat dijustifikasikan sebagai government of, by, and for people.
Ada dua pendekatan terhadap demokrasi: pendekatan normatif dan pendekatan empirik.[7] Pendekatan normatif, menekankan pada ide dasar dari demokrasi yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat dan oleh karenanya pemerintahan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam perkembangannya, ide kedaulatan rakyat secara utuh sulit diterapkan selain beragam dan seringkali saling bertentangan, rakyat juga sulit dihimpun untuk penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Oleh karena itulah muncul ide demokrasi yang terkonkretisasi dalam lembaga perwakilan, baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang anggota-anggotanya dipilih dari partai politik atau perseorangan sebagai agregasi dari berbagai kepentingan rakyat. Sedangkan pendekatan empirik menekankan pada perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik sebagai rangkaian prosedur yang mengatur rakyat untuk memilih, mendudukkan dan meminta pertanggungjawaban wakilnya di lembaga perwakilan. Wakil-wakil inilah yang kemudian membuat dan menjalankan keputusan publik.
Anders Uhlin mengemukakan adanya dua pendekatan berbeda terhadap konsep demokrasi, yaitu sebagai tujuan dan sebagai label bagi sistem politik yang ada. Teori normatif berkenaan dengan demokrasi sebagai tujuan (resep tentang bagaimana demokrasi seharusnya), sementara teori empiris berkenaan dengan sistem politik yang ada (deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang).[8] Sedangkan Franz Magnis Suseno dalam menelaah mengenai pengertian dasar demokrasi, membedakan antara apa yang disebutnya dengan “telaah etika politik” di satu pihak dan “diskursus politik” di lain pihak. Menurutnya “diskursus politik” dapat diartikan sebagai mengajukan penilaian, kritik, dan tuntutan langsung terhadap realitas politik yang bertujuan menilai, mempengaruhi, mempertahankan atau mengubah keadaan dalam negara serta
[7] Jean Baechler, Democracy an Analytical Survey, (USA: Unesco, 1995), hlm. 7, lihat pula Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 11
[8] Rofik Suhud, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 33
menanggapi langsung argumentasi dan legitimasi yang diajukan oleh pelbagai aktor di panggung politik. Sedangkan telaah “etika politik” termasuk telaah filsafat yang obyeknya adalah prinsip-prinsip sebagai dasar untuk dapat mempertanyakan syarat, konsistensi dan implikasi-implikasi pertanyaan diskursus politik dari segi prinsip etika.
Terkait dengan demokrasi dari segi etika politik, negara demokratis memiliki lima gugus ciri hakiki, yaitu: negara hukum; prinsip kontrol nyata masyarakat terhadap pemerintah; prinsip perwakilan melalui lembaga perwakilan yang dipilih melalui pemilu yang bebas; prinsip mayoritas; dan adanya prinsip jaminan terhadap hak-hak demokratis.[9] Sedangkan negara demokratis terkait dengan diskursus politik memiliki lima macam elemen, yaitu: partisipasi, di mana rakyat terlibat dalam pembuatan keputusan politik; adanya kontestasi yang menyamakan kedudukan di antara rakyat; adanya tingkat liberasi dan kebebasan yang dijamin untuk atau oleh rakyat; adanya sistem perwakilan; dan satu sistem pemilihan berdasarkan aturan mayoritas.[10]
Menurut Beetham normatifitas demokrasi bertujuan untuk memberi ruang kontrol rakyat terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan politik dan solidaritas antara warganegara yang mensyaratkan seperangkat prinsip umum tentang hak dan kemampuan bagi semua orang untuk berpartisipasi, otorisasi, representasi dan bertanggungjawab secara transparan.[11] Dalam suatu pemerintahan, prinsip-prinsip di atas mensyaratkan seperangkat instrumen, meliputi: (i) pemilu yang demokratis, keterwakilan, pemerintah yang responsif dan bertanggung jawab; (ii) konstitusi atau hukum yang menjamin kesetaraan, kepastian hukum dan keadilan; dan (iii) partisipasi masyarakat dalam segala bentuk, baik media, seni, maupun organisasi masyarakat sipil yang bebas dan berorientasi demokratis. Prasyarat efektifnya suatu sistem demokrasi adalah independensi atau kemandirian dan korespondensi atau kesesuaian antara definisi resmi demos (yakni bagaimana “warganegara Indonesia” didefinisikan secara legal-konstitusional dan administratif) yakni dengan bagaimana masyarakat mengidentifikasi diri mereka dalam urusan public dalam arti kratos. Hal inilah yang pada akhirnya mengacu pada responsifitas representasi.[12]
Demokrasi normatif sebagai sebuah ide pemerintahan rakyat memposisikan rakyat dalam posisi sentral untuk menentukan dan menilai kebijaksanaan negara oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Kedaulatan rakyat ini dipahamai Rousseau sebagai kemauan rakyat (volonte generale atau general will) yang dilembagakan melalui lembaga perwakilan rakyat agar dapat dirumuskan dalam public policy. Atas dasar tersebut maka lahirlah teori demokrasi representatif, di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan oleh sedikit orang dalam lembaga parlemen (legislatif) yang dipilih rakyat melalui pemilu sebagai implementasi kedaulatan rakyat yang diimbangi dengan lembaga pemerintah (eksekutif) sebagai pelaksana kebijakan parlemen dan lembaga-lembaga hukum (yudikatif). Sedangkan dari sudut empiris, sistem politik demokratis adalah
[9] Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.87-92, lihat pula Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 281-290
[10] Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies, (London: The Dorsey Press, 1984), hlm. 32-33.
[11] Beetham, Democracy and Human Rights, (Oxford: Polity Press, 1999), hlm 12
[12] Beetham, Bracking, Kearton & Weir, International IDEA Handbook and Democracy Assessment, (New York: Kluwer Law International, 2002), hlm. 37-39
sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.[13]
Terkait dengan hal tersebut, April Carter maupun Lawrence Dood[14] menyatakan bahwa dalam teori demokrasi (representative democratie theory), institusi perwakilannya meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Legislatif sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap pembuatan hukum (legislator) untuk menjalankan kehendak rakyat yang terinterpretasikan dalam UUD (supreme legislative body of some nations) dan UU lazim disebut dengan parlemen terkait dengan fungsinya dalam melakukan pengawasan (control) terhadap kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan sesuai dengan UUD dan UU yang ditetapkan. Guna mengefektivkan fungsi pengawasan inilah, parlemen mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak bertanya. Lembaga eksekutif adalah institusi pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang dibentuk berdasarkan hukum yang dibuat oleh legislatif, baik dalam model parlementer system, presidensial system, hybrid system maupun collegial system. Lembaga eksekutif berfungsi untuk memilih dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang menentukan arah simbolis yang jelas dan menjamin agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan efektif. Sedangkan lembaga yudikatif merupakan kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi yudisial sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.
Demokrasi yang terkonkretisasikan dalam lembaga legislatif yang diimbangi dengan eksekutif dan yudikatif memiliki tiga komponen kualifikasi sebagai modus vivendi yang diharap dapat mendorong dan mengembangkan demokrasi yang sehat, yaitu kompetensi, konstituensi maupun integritas.[15] Tiga komponen kualifikasi tersebut merupakan modus vivendi yang bersifat kumulatif bagi demokratisnya pelembagaan demokrasi secara hukum. Konstituensi memberikan legalitas kepada posisi politik seseorang dengan tanggung jawab yang harus diberikan kepada konstituensinya dapat diukur berdasarkan dedikasi. Kompetensi memberikan efektivitas kepada posisi politik seseorang, dengan tanggung jawab yang harus diberikan kepada komitmen kerjanya dapat diukur berdasarkan prestasi. Sedangkan integritas memberikan legitimasi kepada seseorang dengan tanggung jawab berkenaan dengan komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman, oleh karena itu diukur berdasarkan kemampuan resistensi terhadap represi politik, komersialisasi dan tingkat otonomi berhadapan dengan deviasi politik.
Demokrasi konstitusional (constitutional democratie) adalah gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak tiran terhadap warganya. Pembatasan kekuasaan pemerintahan tersebut termaktub dalam konstitusi yang dibuat berdasarkan prosedur demokratis sehingga sering disebut dengan pemerintahan berdasarkan konstitusi (constitutional government).
[13] Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hlm. 207
[14] April Carter, Otoritas dan Demokrasi, CV Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 70, lihat juga Lawrence Dood, Coalitions in Parliamentary Government, (New Jersey: Princeton University Press, 1976), hlm.16
[15] Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm.36.
Sedangkan Negara konstitusional (constitutional state) adalah negara yang kehidupan ketatanegaraannya didasarkan pada konstitusi yang bersifat nasional dan demokratis. Suatu konstitusi dikatakan bersifat nasional bila konstitusi itu dilandasi kesadaran bernegara yang sama dari para penyusunnya terkait dengan seperangkat norma fundamental dalam suatu negara, sedangkan suatu konstitusi dikatakan demokratis bila konstitusi itu didasarkan pada general agreement rakyatnya, dengan kata lain harus dilahirkan oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga yang paling berkuasa (supreme) didasarkan pada prinsip kedaulatan tertinggi yang dianut.[16]
Konstitusionalisme adalah faham mengenai pelembagaan pembatasan kekuasaan pemerintahan secara sistematis dalam sebuah konstitusi, dengan demikian indikator utama konstitusionalisme adalah adanya konstitusi. Secara terminologis, Bryce menyebut konstitusionalisme sebagai faham yang menghendaki agar kehidupan negara didasarkan pada konstitusi, sebagai kerangka masyarakat politik yang diorganisir berdasarkan hukum dan membentuk lembaga-lembaga permanen dengan tugas dan wewenang tertentu. Dalam konteks modern, kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis merupakan keniscayaan, terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal entity) sebagaimana Brian Thompson yang menyatakan bahwa konstitusi adalah aturan tertulis yang harus dimiliki oleh setiap organisasi, demikian pula negara. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini hampir semua negara memiliki naskah tertulis sebagai UUD (Kecuali Inggris, Selandia
Baru dan Israel).[17] Mark Tushnet menyebutkan bahwa fungsi konstitutif konstitusionalisme adalah keterkaitan antara konstitusi (constitution) ‘mati’ dengan konstituen (constituent) sebagai konstitusi yang ‘hidup’. Jika negara menganut kedaulatan rakyat maka sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat. Hal inilah yang disebut constituent power atau kewenangan yang berada di luar sekaligus di
atas sistem yang diaturnya.[18]
Menurut William G. Andrew, basis pokok konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Jika konsensus atau general agreement itu runtuh maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan. Tolok ukur tegaknya konstitusionalis-me yang lazim disebut prinsip limited government bersandar pada tiga elemen kesepakatan (general agreement) yaitu; kesepakatan tentang staatsside; the rule of law; dan format regiminis yaitu kesepakatan mengenai bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan berkenaan dengan bangunan organ negara dan prosedur yang mengatur kekuasaannya, hubungan antar organ negara itu satu sama lain, dan hubungan antar organ negara itu dengan warga negara.[19]
2. Interrelasi Demokrasi dan Konstitusionalisme Indonesia Baru
Eksistensi demokrasi Indonesia secara historis dimulai sejak awal berdirinya Negara, yaitu saat UUD 1945 disepakati menjadi konstitusi. Demokrasi pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), demokrasi parlementer (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi pancasila (1965-1998) dan terakhir demokrasi masa reformasi (1998-?). demokrasi Indonesia adalah perwujudan kedaulatan rakyat (democratie)
[16] Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), hlm.40
[17] Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm 29
[18] Samuel Edward Finer cs., Comparing Constitutions. (Oxford: Clandron Press, 1995), hlm. 37
[19] Ibid; hlm. 25
yang beriringan dengan kedaulatan hukum (nomocratie). Pelembagaan demokrasi tersebut diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam MPR yang terdiri dari DPR dan DPD (parlemen/legislatif); Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif); serta kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas MK dan MA (yudikatif). Mekanisme prosedural demokrasi disalurkan secara langsung (direct democratie) maupun melalui sistem perwakilan (indirect democratie). Dalam menjalankan kebijakan pemerintahan (fungsi eksekutif), kedaulatan rakyat diwujudkan melalui lembaga Presiden dan Wakil Presiden dalam quasy presidential system yang dilakukan melalui pemilihan langsung. Sistem perwakilan politik terlembagakan dalam MPR, DPR dan DPD dalam trikameral system yang bertugas untuk menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa UUD dan UU (fungsi legislatif) serta menjalankan pengawasan (fungsi kontrol) terhadap jalannya pemerintahan, dilakukan melalui pemilihan umum. Sedangkan kekuasaan yudikatif dalam lembaga kehakiman (fungsi yudikatif) yang terdiri MA dan MK, rekrutmen dilakukan berdasarkan prinsip ‘independent of judiciary’ dan ‘fair and impartial judiciary’.
Eksistensi konstitusionalisme Indonesia, secara historis telah dimulai sejak awal berdirinya negara. Bangsa Indonesia telah menganut konstitusionalisme yang terkonkretisasikan dalam konstitusi yang nasional dan demokratis, yaitu UUD 1945. Sejarah pemberlakuan konstitusi Indonesia mengalami pasang surut yang cukup panjang, mulai dari UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959), UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 Pada masa Orde Baru (1965-1998), dan terakhir UUD 1945 hasil perubahan yang hingga kini telah empat kali dirubah. Perubahan ini dilatari keinginan untuk mewujudkan pemerintahan negara RI yang substansial konstitusional mengingat pada masa pemberlakuan konstitusi sebelumnya konstitusi hanyalah formalitas belaka. Secara normatif, eksistensi konstitusionalisme Indonesia terkonkretisasikan dalam konstitusi yang merupakan naskah tertulis mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan kekuasaan negara yang berasal dari kesepakatan umum (general agreement) atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat melalui prosedur tertentu. Dengan perubahan IV UUD 1945 RI, sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang mendasar, hanya kesepakatan mengenai cita negara (staatsidee) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag yang tidak berubah, karena kandungan pokok pikiran yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 mencakup suasana kebatinan sebagai cerminan falsafah hidup (weltanshaung), pandangan dunia (world view) bangsa Indonesia serta cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai dan menjiwai hukum dasar. Secara normatif, konstitusi berfungsi sebagai sarana tool of social and political control, tool of social and political reform, serta tool of social and political engineering ke arah cita-cita kolektif bangsa. Oleh karenanya, UUD 1945 dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee).
Perubahan-perubahan itu telah mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural organ-organ negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Banyak pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu. Empat diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b) pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances’ (c) pemurnian sistem pemerintah presidensial; dan (d) penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah NKRI.
Dari uraian di atas, kita dapat mengamati berbagai percobaan demokrasi yang telah dilakukan dalam politik ketatanegaraan Indonesia semenjak kemerdekaannya, berkaitan dengan modus vivendi dari tiga komponen kualifikasi demokrasi, baik kompetensi, konstituensi maupun integritas. Pada masa-masa awal Orde Baru, yang menjadikan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas nomor satu, dan karena itu memberikan prioritas politik kepada ahli-ahli ekonomi dalam jabatan-jabatan tertentu, teknokrasi telah terjadi karena kompetensi berjalan tanpa konstituensi. Mafia Berkeley adalah sebutan pada masa Orde Baru untuk rezim teknokratis dan zakenkabinet adalah penamaan untuk teknokrasi dalam masa pemerintahan Soekarno. Teknokrasi ini masih dapat diterima kalau para ahli yang menjadi pejabat maupun politisi tersebut memperlihatkan integritas yang memadai sebagai bentuk etis moralitas politik. Dalam masa reformasi sekarang ini, kecenderungan konstituensi yang tanpa kompetensi terlihat dari cukup banyaknya politisi dan pejabat (birokrasi maupun yustisi) yang dipilih dan diangkat tidak berdasarkan kemampuan (kompetensi dan integritas) mereka dalam menjalankan pekerjaan politik, birokratik maupun yustisial, tetapi lebih karena mereka dapat mengusahakan dukungan politik yang memberikan suara untuk menunjuk mereka.
Sehubungan dengan itu, peran lembaga legislatif cenderung hanya terkait dengan peran kontrolnya, bukan pada legislatornya. Hal ini terlihat dari jumlah perundangan yang telah dibuat, kebanyakan merupakan hasil inisiatif eksekutif bukan lahir dari inisiatif DPR. Realitas ini kemungkinan besar terjadi karena legislatif lebih dipahami sebagai “lembaga politik” atau parlemen yang fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan, bukan “lembaga teknis” yang tercermin dalam fungsi legislasi yang lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak membutuhkan prasyarat-prasyarat dan dukungan-dukungan yang teknis pula. Sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggota parlemen itu adalah kepercayaan rakyat (legitimasi), bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis bukan politis. Oleh karena itu, dalam perspektif hubungan antara parlemen dengan pemerintah di masa yang akan datang, berkembang pemikiran untuk menyeimbangkan fungsi kontrol dan fungsi legislasi demi menjamin terjadinya proses ‘checks and balances’ dalam arti bahwa terkait dengan fungsi legislasi prinsip ‘separation of power’ tidak harus dipisahkan secara kaku. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung telah menunjukkan penguatan prinsip konstituensi dalam lembaga eksekutif, meskipun dalam beberapa hal mengenai regulasi cenderung tertutup karena calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan melalui pintu partai politik, itupun bagi yang memenuhi electoral treshold. Oleh karena itu, terkait dengan penegakan prinsip kompetensi dan integritas dirasa masih jauh dari harapan.
Dalam kekuasaan yudikatif yang independen, prinsip integritas lembaga MK tercermin secara normatif dalam persayaratan untuk menjadi hakim konstitusi yang harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela serta adil. Prinsip kompetensi terkait dengan persyaratan Hakim Konstitusi untuk negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Sedangkan prinsip konstituensi mewujud dalam kelembagaan MK yang beranggotakan 9 orang, di mana 3 orang dipilih oleh DPR, 3 orang ditentukan oleh MA, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang demikian diharapkan bahwa MK akan benar-benar bersifat netral dan independen serta terhindar dari kemungkinan pemihakan pada salah satu dari ketiga lembaga negara. Dalam lembaga MA, prinsip konstituensi, kompetensi dan integritas secara normatif tersirat antara lain dalam praktek penerapan ketentuan ‘fit and proper test’ oleh DPR terhadap para calon hakim agung. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi mengenai penegakan hukum dan sistem hukum hanya mungkin dibangun jika kinerja kekuasaan kehakiman dapat mengundang kepercayaan publik. Sedangkan untuk menjaga kewibawaan dan integritas lembaga hakim, dikembangkan pula ide Komisi Yudisial (Judicial Commission) yang berada di luar kekuasaan kehakiman dan berhak mengusulkan pemberhentian hakim di tengah jabatannya apabila yang bersangkutan terbukti melanggar hukum dan etika profesi.
Substansi demokrasi itu menentukan hukum yang berlaku sebab hukum dibuat berdasarkan kehendak rakyat. Implementasi kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia pasca perubahan IV UUD 1945 itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam MPR yang terdiri dari DPR dan DPD,[20] dalam format parlemen trikameral system (legislatif); presiden dan wakil presiden dalam presidentil system (eksekutif); dan kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas MK dan MA yang independen (yudikatif). Lembaga legislatif sebagai subsistem ketatanegaraan Indonesia diartikan sebagai lembaga perwakilan politik formal yang dipilih melalui pemilu, sehingga lazim disebut dengan parlemen yang memiliki fungsi pengawasan, fungsi legislasi dan budgeting sekaligus fungsi supreme legislative body of some nations. Lembaga eksekutif dikepalai oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai institusi pemegang kekuasaan pemerintahan negara, dibentuk berdasarkan hukum dan berfungsi untuk merumuskan kebijakan pemerintah guna menjamin efektifitas pemerintahan. Lembaga eksekutif independen seperti state auxiliary agencies berada di luar pembahasan tesis ini.
Sedangkan lembaga yudikatif merupakan kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi judicial sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Dalam hal ini, lembaga yudikatif terdiri dari MA (supreme court) dan MK (constitutional court) yang kedudukannya sederajat, Komisi Yudisial (KY) berada di luar kekuasaan kehakiman.
Interrelasi sebagai keterkaitan simbiotik antara konstitusionalisme yang terkonkretisasi dalam konstitusi dan demokrasi yang secara hukum terlembagakan dalam tiga cabang kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif didasarkan pada hubungan fungsional, artinya hubungan itu dilihat dari sudut fungsi tertentu yang dapat dijalankan di antara keduanya, mengingat pembagian fungsi kelembagaan atau diferensiasi struktur merupakan rasionalisasi wewenang dan pemusatan kekuasaan yang dibarengi dengan diferensiasi fungsional pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan atau sejenisnya yang bersifat khusus sebagai jawaban atau respons atas pertumbuhan masalah maupun masyarakat yang makin kompleks. Pola hubungan itu bersifat resiprokal (timbal balik) terkait dengan perkembangan normatif politis kekuasaan yang memperlihatkan korelasi atau sekurang-kurangnya koinsidensi yang teridentifikasi.
[20][20] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, 2003), hlm.25-31
Jimly [20] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jogjakarta: Gama Media, 1999) hlm. 9
[20] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Jogjakarta: Liberty, 1989), hlm. 37
[20] Satya Arinanto, Hukum Dan Demokrasi, (Jakarta: Ind Hill-Co, 1991), hlm. 59
[20] Benny K. Harman, ”Langkah-langkah Strategi Politik dan Hukum untuk Mewujudkan Independency of Judiciil”, disampaikan pada lokakarya Mencari Format Peradilan yang Mandiri, Bersih dan Profesional, Jakarta, 11-12 Januari 1999Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, 2003), hlm.25-31
Sehubungan dengan hal tersebut, apakah kemudian bisa disimpulkan bahwa demokrasi merupakan prasyarat penting pemerintahan konstitusional? Apabila demokrasi berarti tidak lebih dari sekedar kesederajatan dan hak pilih universal yang bisa menciptakan tirani mayoritas, tirani minoritas maupun tirani satu orang, ini sama sekali tidak akan melahirkan pemerintahan konstitusional. Hanya jika demokrasi berarti kebebasan, pluralitas dan kesetaraanlah bisa diharapkan dapat melahirkan pemerintahan yang substansial konstitusional. Jika pemerintahan demokratis ingin menjadi pemerintahan konstitusional, maka ia harus menjamin kebebasan sebagai prioritas utama, tidak hanya terbatas pada hak pilih universal tetapi juga kebebasan untuk memilih pemerintahan alternatif selain pemerintah yang berkuasa dengan melindungi hak-hak untuk menentang absolutisme negara.
Dengan demikian, pemerintahan demokratis dan pemerintahan konstitusional adalah hal yang berbeda, oleh karena itu, konstitusionalisme yang terkonkretisasikan dalam sebuah konstitusi dan demokrasi yang terkonkretisasikan secara hukum dalam pelembagaan kekuasaan negara merupakan subsistem ketatanegaraan yang inkonvergen. Apabila demokrasi berarti tidak lebih dari sekedar hak pilih universal atau kedudukan yang sederajat (kesetaraan), ia sama sekali tidak akan melahirkan pemerintahan konstitusional. Hanya jika demokrasi berarti kebebasan, pluralitas dan kesetaraan, maka diharapkan dapat melahirkan pemerintahan substansial konstitusional.
Meski begitu, antara konstitusionalisme dan demokrasi memiliki interrelasi yang erat dan saling mengandaikan secara simbiotik dan bersifat resiprokal (timbal-balik), khususnya jika dilihat dari sudut fungsional. Perkembangan normatif politis kekuasaan selalu memperlihatkan korelasi atau sekurang-kurangnya koinsidensi yang dapat teridentifikasi, sehingga pemikiran filosofis mengenai pendasaran dan legitimasi negara merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan mengingat besarnya urgensi bagi eksistensi kenegaraan modern. Konstitusionalisme mengacu pada legalitas konstitusional kekuasaan, sedangkan demokrasi mengacu pada asas legitimitas kekuasaan, oleh karena itulah konstitusionalisme mengajarkan bahwa demokrasi harus berangkat dari kebersamaan dan wajib mempertahankan kebersamaan itu. Prinsip utama konstitusionalisme adalah kesinambungan demokrasi yang bertalian dengan pemberian batas-batas legal mengenai demokrasi sebagai suatu konsep self-binding atau mengikat diri sendiri demi melindungi dirinya, sehingga ada pembatasan hukum terhadap apa yang dapat lakukan mayoritas.
Membahas konstitusionalisme sesungguhnya adalah membicarakan sebuah ajaran metayuridis tentang berlakunya sebuah asas aksiomatik. Asas itu harus selalu diperhatikan tatkala orang membangun sebuah sistem hukum yang memenuhi syarat demi terealisasinya kehidupan bernegara-bangsa yang demokratis. Setiap kekuasaan yang diakui sebagi kewenangan pemerintahan, sesungguhnya berfungsi menjaga kebebasan dan hak warga. Ini berarti bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya kewenangan akan selalu tergantung dari kesediaan warga untuk secara sukarela mengurangkan sebagian dari kebebasannya agar dimungkinkan terwujudnya sejumlah kekuasaan. Tak pelak lagi, dihubungkan dengan persoalan persetujuan sukarela atau tidak sukarela ini, konstitusionalisme mengisyaratkan bahwa setiap kekuasaan yang ada di tangan pemerintah hanya bisa dibenarkan dan dinyatakan sah sebagai kewenangan manakala didasari oleh persetujuan eksplisit warga. Persetujuan itu lewat wakil-wakil warga yang dipilih melalui suatu proses pemilihan yang jujur. Dari situ asal mulanya pembenaran atas anggapan konseptual bahwa sesungguhnya kekuasaan dan kewenangan itu dihasilkan oleh suatu proses kontraktual. Ini adalah suatu proses interaktif yang terbuka dan yang tak boleh diganggu iktikad-iktikad culas. Proses ini untuk mempertemukan kemauan dan kesediaan warga mengenai perimbangan ulang yang dipandang lebih proposional antara kekuasaan dan kebebasan dan atau antara kewenangan (kewenangan para warga yang dipercaya menjadi pejabat) dan hak-hak (hak-hak warga yang secara sukarela tak berkehendak duduk dalam jabatan pemerintah, sipil, ataupun militer). Proses kontraktual inilah yang mungkin saja mengesankan adanya relativitas dan partikularitas di dalam ide konstitusionalisme itu.
Paradigma konstitusi yang dalam konsep metayuridisnya disebut “konstitusionalisme” dan dalam bahasa politiknya disebut “demokrasi” adalah penjamin kebebasan dan hak dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan. Paradigma konstitusi inilah yang seharusnya menjiwai seluruh sistem hukum, baik pada wujudnya sebagai peraturan maupun pada tahap proses pelaksanaan dan aplikasinya. Namun demikian, bukan mustahil pula apabila dalam prakteknya, ternyata konstitusi itu acapkali dapat pula digunakan sebagai pembenar eksistensi kekuasaan yang pada asasnya tak boleh dibatasi. Ditilik dari ide kontitusionalisme, kekuasaan yang berwatak demikian itu setinggi apa pun derajat keabsahannya harus dinyatakan telah kehilangan jiwa atau moral konstitusionalismenya, sehingga meski memiliki dasar legalitas, tapi telah kehilangan legitimitasnya. Hukum yang menyalahi moral konstitusionalismenya adalah hukum yang represif, sedangkan hukum yang sesuai moral konstitusionalismenya adalah hukum yang demokratis.
Jadi, menurut ide dasarnya
konstitusionalisme itu tidaklah hendak mengelakkan kemungkinan
terjadinya kenyataan bahwa suatu saat dan pada situasi tertentu
kekuasaan pemerintahan bisa saja disepakati warga secara sukarela untuk
lebih dominan daripada yang lalu. Pada akhirnya, esensi ide
konstitualisme itu terletak pada soal keharusan yang tak boleh ditawar
untuk meminimkan kekuasaan di satu pihak, dan memaksimumkan kebebasan di
lain pihak. Oleh karena itulah, sebelum kita menyimpulkan bahwa suatu
negara demokrasi yang membatasi pemerintah dengan konstitusi juga
mempunyai pemerintahan konstitusional yang demokratis, kita mesti
melihat bagaimana demokrasi dan konstitusi itu dipraktekkan dan secara
khusus melihat apakah kebiasaan/tradisi berjalan memperkuat atau
meperlemah pembatasan konstitusional tersebut.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Demokrasi merupakan alat legitimitas formal konstitusi, dalam arti constituent power, sedangkan konstitusi merupakan instrumen bagi legalitas formal demokrasi terkait dengan pengalihan kewenangan dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan kepada organ-organ kekuasaan negara yang diatur dan dibatasi agar dapat dinilai dan diuji. Dengan demikian ada keyakinan bahwa ada korelasi positif antara kehidupan demokrasi dan kehidupan konstitusionalisme, jika kualitas demokrasi baik, kualitas konstitusi akan baik dan demikian pula sebaliknya.
Terkait dengan interrelasi demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia pasca perubahan UUD 1945, yang perlu digaris bawahi adalah bahwa konstitusionalisme dan demokrasi bukanlah konsep yang bersifat trade of, melainkan saling berkaitan dan niscaya untuk berkembang saling mendukung dalam metode yang berbeda. Konstitusionalisme dalam UUD 1945 merupakan pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi yang mengatur dan membatasi kekuasaan menurut sistem konstitusional, sehingga hukum dan konstitusi itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi (democratische rechtsstaat), karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Untuk itu, UUD 1945 menganut pengertian bahwa Indonesia menganut democratische rechtsstaat dan sekaligus constitutional democracy.
2. Saran
Dari uraian tersebut di atas beberapa terdapat beberapa agenda yang harus dipertimbangkan:
- Dalam tema reformasi menyeluruh, perlu adanya tiga agenda perubahan besar yang sedang berlangsung dan masih terus harus diperjuangkan di Indonesia dewasa ini, yaitu; (i) penataan kembali semua institusi (institutional reform) secara gradual sampai terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional dengan derajat pelembagaan yang rasional dan impersonal, baik pada tingkat supra struktur kenegaraan maupun pada tingkat infra struktur kemasyarakatan; (ii) pembaruan dan pembentukan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan baru pada semua tingkatannya (instrumental reform); dan (iii) kebutuhan untuk reorientasi sikap sikap mental, cara berpikir, metode kerja dan tradisi (cultural reform), yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan di masa mendatang.
- Dalam pelaksanaan “the normative model of democracy” di Indonesia dewasa ini dibutuhkan adanya kondisi kepastian normatif (normative certainty) yang memerlukan prakondisi yang meliputi tujuh prinsip dasar, yaitu: (i) legitimasi (legitimacy) sebagai model pelembagaan kontrol vertikal (vertical control); (ii) pemilu periodik dan masa jabatan berkala (periodical elections and terms of office) serta prinsip mayoritas-keputusan kolektif (majority and collective decisions) sebagai model pengawasan horizontal (horizontal control) lintas lembaga atau antar warga-negara; (iii) pembagian kekuasaan, checks dan balances; (iv) penegakan hukum (rule of law and law enforcement) dan konstitusionalisme (constitutionalism); (v) hak-hak sipil (civic rights); (vi) prinsip universalisme dan keadilan atau kejujuran (universalism and fairness); dan (vii) keterbukaan pada dialog dan komunikasi (open communication).
- Agar fase “the normative model of democracy” di Indonesia dewasa ini secara struktural dapat berperan lebih operasional dan fungsional (a functioning model of democracy) dalam mewujudkan civil society dan welfare state diperlukan transparansi (transparency) dan akuntabilitas wewenang (accountability of power) lembaga kekuasaan negara. Dalam hal ini, transparansi berarti keterbukaan dan kemudahan untuk diakses yang merupakan lawan dari rahasia (secrecy) dan kabur (opaqueness). Semakin transparan dan akuntabelnya lembaga negara, maka “the culture of trust” semakin terjaga, demikian halnya apabila kondisi stabilitas lembaga kekuasaan negara (stability of power order) dapat menciptakan kondisi penegakkan kewajiban dan tanggungjawab (enforcement duties and responsibilities). Di samping itu, diperlukan juga pengakuan dan perlindungan atas integritas, dignitas, dan otonomi dari setiap anggota masyarakat (the recognition and safeguarding of dignity, integrity and autonomy of each societal member).
- Pada level perumusan kebijakan (policy-making) dan pelaksanaan kebijakan (implementation of policy), agar dapat efektif dan efisien, diperlukan sejumlah syarat struktural-fungsional representasi yang strategis, yaitu: (i) proses demokrasi partisipatif di bidang politik dan terlucutnya militerisme, feodalisme, kolonialisme, totalitarianisme, dan kronisme supaya memaksimalkan efektivitas representasi; (ii) penerapan prinsip-prinsip transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam lembaga kekuasaan negara yang merupakan syarat utama dari suksesnya demokrasi; dan (iii) menyediakan suatu kerangka “rule of law” yang solid, dalam hal ini, secara konstitusional dan kelembagaan, keberadaan lembaga kekuasaan negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia haruslah merujuk pada ketentuan UUD 1945 dan UU organik lainnya.
Daftar Pustaka
Afan Gaffar, 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Arif Budiman, 1997. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, cetakan kedua, Jakarta: Gramedia,
Bagir Manan, 2003. Teori dan Politik Konstitusi, Jogjakarta: UII Press.
Beetham, 1999. Democracy and Human Rights, Oxford: Polity Press.
Beetham, Bracking, Kearton & Weir, 2002. International IDEA Handbook and Democracy Assessment, New York: Kluwer Law International.
Benny K. Harman, 1999. ”Langkah-langkah Strategi Politik dan Hukum untuk Mewujudkan Independency of Judiciil”, makalah disampaikan pada Lokakarya Mencari Format Peradilan yang Mandiri, Bersih dan Profesional, Jakarta: 11-12 Januari
Dahlan Thaib, 1989 Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Jogjakarta: Liberty.
Deliar Noer, 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta; CV Rajawali.
Didit Hariadi Estiko, 2001. Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum PPIP Setjen MPR.
Franz Magnis Suseno, 1997. Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, cetakan kedua, Jakarta: Gramedia.
Franz Magnis Suseno, 2003. Etika Politik, cetakan ketujuh, Jakarta: Gramedia.
Jean Baechler, 1995. Democracy an Analytical Survey, USA: Unesco.
Jimly Asshiddiqie, 2003. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: PS-HTN FHUI.
Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
Jimly Asshidiqie, 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, Jakarta: UI Press.
KC Wheare, 2003. Konstitusi-Konstitusi Modern, terjemahan dari Modern Constitution, Alih bahasa: Muhammad Hardani, Jakarta: Pustaka Eureka.
Lawrence Dood, 1976, Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey: Princeton University Press.
Lyman Tower Sargent, 1984. Contemporary Political Ideologies, London: The Dorsey Press.
Miriam Budiardjo, 2004. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluhenam, PT. Jakarta: Gramedia.
Moh. Mahfud MD, 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jogjakarta: Gama Media.
Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, cetakan kedua, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Rofik Suhud, 1998. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, cetakan pertama, Bandung: Mizan.
Rudi G. Teitel, 2000. Transitional Justice, Oxford: Oxford Press.
Samuel Edward Finer cs., 1995. Comparing Constitutions. Oxford: Clandron Press.
Satya Arinanto, 1991. Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co.
Sri Soemantri, 1981. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta: CV. Rajawali.
Biodata Penulis
Arif Hidayat, SHI. MH. lahir di Magelang, Jawa Tengah, 22 Juli 1979. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, menyelesaikan jenjang S2 Konsentrasi Hukum Tata Negara/Administrasi Negara di UII Jogjakarta tahun 2006. Aktif menjadi peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara
(LPP-HAN) dan Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Desentralisasi (LKHD). Semasa kuliah, ia aktif pada kegiatan-kegiatan kemahasiswaan antara lain di KSBH (Kelompok Studi & Bantuan Hukum), Jurnal Advokasia, Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, di samping juga aktif di organisasi ekstra kampus.
Dunia mengajar pertama kali digeluti semenjak lulus pascasarjana pada tahun 2006. Tahun 2008 penulis menjadi pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES) untuk matakuliah pokok Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Otonomi Daerah. Kegiatan di luar Kampus adalah Direktur Eksekutif LEBAH (Lembaga Pembelajaran HAM) Semarang dan Editor beberapa penerbitan.
Alamat email : arifbandungan@yahoo.co.id
[1] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jogjakarta: Gama Media, 1999) hlm. 9
[2] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Jogjakarta: Liberty, 1989), hlm. 37
[3] Satya Arinanto, Hukum Dan Demokrasi, (Jakarta: Ind Hill-Co, 1991), hlm. 59
[4] Benny K. Harman, ”Langkah-langkah Strategi Politik dan Hukum untuk Mewujudkan Independency of Judiciil”, disampaikan pada lokakarya Mencari Format Peradilan yang Mandiri, Bersih dan Profesional, Jakarta, 11-12 Januari 1999
[5] Didit Hariadi Estiko, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya terhadap Pembangunan Sistem Hukum, (Jakarta: Tim Hukum PPIP Sekretaris Jendral MPR), 2001, hlm.33
[6] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jogjakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 11
[7] Jean Baechler, Democracy an Analytical Survey, (USA: Unesco, 1995), hlm. 7, lihat pula Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 11
[8] Rofik Suhud, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 33
[9] Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.87-92, lihat pula Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 281-290
[10] Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies, (London: The Dorsey Press, 1984), hlm. 32-33.
[11] Beetham, Democracy and Human Rights, (Oxford: Polity Press, 1999), hlm 12
[12] Beetham, Bracking, Kearton & Weir, International IDEA Handbook and Democracy Assessment, (New York: Kluwer Law International, 2002), hlm. 37-39
[13] Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hlm. 207
[14] April Carter, Otoritas dan Demokrasi, CV Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 70, lihat juga Lawrence Dood, Coalitions in Parliamentary Government, (New Jersey: Princeton University Press, 1976), hlm.16
[15] Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm.36.
[16] Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), hlm.40
\[17] Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm 29
[18] Samuel Edward Finer cs., Comparing Constitutions. (Oxford: Clandron Press, 1995), hlm. 37
[19] Ibid; hlm. 25
[20] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, 2003), hlm.25-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar