Jumat, 07 Februari 2014

STABILITAS DEMOKRASI DALAM SISTEM MULTI PARTAI DAN PRESIDENSIALISME INDONESIA Oleh: Arif Hidayat


STABILITAS DEMOKRASI DALAM 

SISTEM MULTI PARTAI DAN PRESIDENSIALISME

INDONESIA






Oleh:

Arif Hidayat







FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

TAHUN 2008

STABILITAS DEMOKRASI DALAM 

SISTEM MULTI PARTAI DAN PRESIDENSIALISME

INDONESIA

Oleh: Arif Hidayat [1]

Abstrak: “Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang interaksi antar partai dan struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan pemerintahan sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang berlaku. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan presidensiil sekaligus meneguhkan implementasi good governance”.

Kata Kunci: demokrasi, partai politik, sistem multipartai, presidensiil,



A. PENDAHULUAN

Partai politik merupakan pilar utama demokrasi (bukan kedua atau ketiga), karena pucuk kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Artinya hak tersebut secara eksklusif hanya diberikan oleh konstitusi kepada partai politik. Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sangat rasional argumentasinya jika upaya penguatan partai politik merupakan pilar mahapenting bagi bangunan demokrasi, sedangkan demokratisasi adalah pondasi utama bangunan good governance. Dengan demikian derajat pelembagaan partai politik sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara (Salang, 2007; 3).

Presidensialisme dan sistem multipartai adalah sebuah “kombinasi rumit dan berbahaya” bagi stabilitas demokrasi. Sebagaimana data komparasi

[1] Staf  Pengajar FH Universitas Negeri Semarang

Mainwaring, dari 25 negara yang berhasil menjaga stabilitas demokrasinya pada tahun 1959-1989, di antaranya hanya 4 negara presidensial (Amerika Serikat, Venezuela, Kosta Rika dan Kolumbia), sementara 18 negara lainnya adalah parlementer. Keempat sistem presidensial itu memiliki tingkat fragmentasi partai yang relatif rendah dengan hanya dua sampai dengan tiga partai yang efektif (Mainwaring, 1993; 102).

Dalam konteks penguatan sistem kepartaian dan memperkuat daya tahan stabilitas demokrasi presidensial, pemberlakuan ambang batas legislatif  (electoral thresold dan electoral parlementary) 20-25% pada Pemilu 2009 berpotensi positif, apabila dibarengi konsistensi yang koheren. Dengan demikian, pengembangan institusionalisasi (kelembagaan) partai politik senantiasa menjadi bahasan yang serius dari para ilmuan politik di tanah air. Pasalnya sampai saat ini pengembangan institusionalisasi partai politik oleh partai-partai politik belum maksimal. Sehingga dari waktu ke waktu, para ilmuan politik ditanah air, sering mencari formula yang tepat bagi maksimalisasi pengembangan institusionalisasi partai politik di tanah air. Salah satu problematika partai politik di Indonesia dewasa ini adalah belum terlembaganya partai sebagai organisasi modern. Secara akal sehat, tak ada demokrasi yang bisa bekerja efektif jika tingkat polarisasi dan fragmentasi partai terlalu tinggi seperti dianut sistem kepartaian bangsa kita. Energi partai-partai di parlemen acap kali hanya tersedot untuk memperdebatkan soal-soal elementer seperti tata bahasa dan istilah dalam berbagai rancangan kebijakan (Cetro, 2007; 8).

Sistem kepartaian seharusnya mendukung terbentuknya sistem pemerintahan yang kuat dan bersih serta meningkatkan efektifitas pemerintahan atau tingkat keterwakilan, namun kenyataannya setiap partai lebih mementingkan kepentingan masing-masing. Jika saja pengembangan institusionalisasi partai politik itu maksimal, tentu akan berimplikasi positif terhadap proses pemantapan sikap, dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik, sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi.

Belum terlembaganya partai politik sebagai organisasi modern, membuat partai politik mulai kehilangan martabatnya di mata rakyat. Dari hasil survei LSI, Maret 2007, menunjukkan degradasi representasi parpol di mata rakyat. Parpol kini hanya menyisakan 35% kepercayaan masyarakat sebagai modal eksistensinya. Krisis kepercayaan di satu sisi, dan rapuhnya proses institusionalisasi demokrasi di sisi lain, menjadi ancaman cukup serius di tengah transisi sosial saat ini (LSI, 2007; 12).

Partai politik dalam DPR yang seharusnya sekedar instrumen yang menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakat cenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada partai daripada calon di luar partai yang mungkin dianggap lebih berkualitas. Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Lembaga Legislatif dan parpol begitu rendah. Yakni satu tingkat paling bawah sebelum Partai Politik. Lebih lengkapnya Parpol 8,1%, Lembaga Legislatif 11,2%, Polisi 14,6%, Lembaga Peradilan 19,9%, Pemda 26%, Pempus 29% dan paling dipercaya justru militer 33% (Asian Barometer: 2004).

Padahal, semakin tinggi tingkat pelembagaan partai, semakin tinggi pula daya ikat partai terhadap para pemilih atau konstituen partai serta terhadap elite dan kepengurusan partai. Dalam paham demokrasi, daya ikat ini dibentuk secara konsensual, atas dasar kesepakatan mengenai ideologi, orientasi politik, program, dan kepemimpinan partai (Fatah, 2004: 4). Secara lebih spesifik, pengembangan kelembagaan partai politik merupakan proses yang dilalui oleh partai agar terorganisasi secara lebih baik, mempraktikkan nilai-nilai demokrasi, membuat aturan dan prosedur sehingga memungkinkan partai-partai politik mampu bersaing secara efektif dan lebih berhasil dalam pemilu, serta menerapkan pilihan-pilihan kebijakan mereka (IMID, 2006; 12).

Partai-partai politik di Indonesia kerap diperhadapkan dengan problem pengembangan institusionalisasi partai politik. Salah satu penyebabnya terletak pada aturan main sistem kepartaian kita, yang masih menganut multyparty system. Padahal banyaknya partai politik yang tampil sebagai kontestan pilkada, dan pemilu merupakan partai-partai politik yang akar idiologinya berkutat pada tiga aras idiologi yang sama; nasionalis-sosialis, nasionalis-religius, dan sosialis-religius (Imawan, 1999; 3).

Tulisan ini akan disajikan menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan menelusuri pendekatan sistem kepartaian di berbagai negara. Selanjutnya, pada bagian kedua akan mencoba menguraikan bagaimana perjalanan bangsa Indonesia menerapkan format sistem pemilu dan sistem kepartaiannya dalam kaitannya dengan presidensialisme dan peningkatan good governance.

B. PEMBAHASAN

1. Pendekatan Sistem Kepartaian di Berbagai Negara

Pendekatan yang lazim digunakan dalam melihat sistem kepartaian adalah pendekatan numerik dan pendekatan polarisasi. Pendekatan Numerik yang pernah dikembangkan ilmuwan politik kebangsan Prancis, Maurice Duverger (1954) ini menyebut partai sebagai unit-unit dan sebagai satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan-kesatuan lain sehingga sistem kepartaian dapat dilihat dari pola perilaku dan interaksi antar sejumlah partai dalam suatu sistem politik yang digolongkan dalam tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi partai dan multipartai. Sedangkan menurut Almond (1999) terbagi menjadi dua macam yaitu: sistem kepartaian kompetitif dan non-kompetitif. Sistem kepartaian kompetitif membagi sistem kepartaian menurut jumlah dan polarisasinya. Menurut jumlah, sistem kepartaian terdiri dari sistem dwi partai politik (two-party system) atau multi-partai politik (multy-party system). Sedangkan sistem kepartaian menurut polarisasi atau pengkutuban kepentingan terbagi atas konsensual, konfliktual, dan konsosiasional. Sistem dua-partai adalah produk sistem pemilu majoritarian (distrik) di bawah pemerintahan bercorak presidensial, sedangkan sistem multipartai terbentuk dari sistem pemilu proporsional yang umumnya dipraktikkan dalam sistem parlementer.

Pendekatan Polarisasi dikembangkan oleh ilmuwan politik Italia, Giovani Sartori (1976), sistem kepartaian tidak digolongkan menurut jumlah partai atau unit-unit melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada dan didasarkan pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak di antara kutub (bipolar) dan arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, moderat dan ekstrem. Sementara itu, Dahl (1966) memperkenalkan pembedaan tipe sistem kepartaian atas tingkat kompetisi antarpartai sehingga terbentuk berbagai pola oposisi partai dalam berhadapan dengan kekuasaan (Swantoro, 2004; 112-113).

Berbagai pilihan teoretis tersebut menggarisbawahi bahwa sistem kepartaian tidak semata-mata berkenaan dengan jumlah partai, tetapi juga tingkat kompetisi dan relasi ideologis di antara partai-partai. Karena itu, penataan kembali sistem kepartaian semestinya tidak semata-mata memperhitungkan faktor jumlah, tetapi juga tingkat kompetisi di satu pihak dan relasi ideologis partai-partai di lain pihak.

Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlaku di berbagai negara sangat mempengaruhi sistem kepartaian yang dianut. Secara umum sistem pemilu di dunia terdiri dari 2 jenis yaitu: pluraty single district dan proportional representative system. Plurality single district seringkali diterjemahkan bebas sebagai sistem district, walaupun secara definisi sistem district merupakan varian dari induknya yaitu sistem plurality single district selanjutnya disebut sebagai sistem plural. Sedangkan sistem proportional representative system secara sederhana disebut sebagai sistem pemilu proporsional.

Di negara Barat di mana demokrasi sudah menjadi tradisi di dalam kehidupan masyarakatnya, sistem plural membuka peluang untuk berbagai partai politik untuk berkompetisi. Tingginya partisipasi masyarakat dalam sistem politik mensyaratkan adanya pilihan penyaluran aspirasi politik setelah dukungan politik disuarakan (artikulasi) dan disatupadukan (agregasi). Demokrasi menjadikan partai politik bersaing dalam merebut dukungan masyarakat, sehingga menghasilkan sistem partai politik terbagi menurut jumlah dan polarisasi (pengkutuban).

Karakteristik dari sistem dwi partai adalah: (1) kesederhanaan, (2) kejelasan, (3) kebebasan, (4) kesempatan, (5) kegunaan demi kepentingan publik. Sistem dua partai yang berlaku di Amerika Serikat dan Britania Raya sebetulnya tidak persis sama: Amerika Serikat menganut sistem kabinet presidensial, sedangkan Britania Raya mempraktikkan sistem kabinet parlementer (demokrasi parlementer). Dua besar partai politik di Amerika Serikat adalah Partai Demokrat dan Partai Republik, sedangkan di Britania Raya adalah Partai Konservatif dan Partai Buruh (belakangan berdiri lagi Partai Liberal). Di Amerika Serikat, partai politik yang memenangkan kursi kepresidenan (eksekutif) belum tentu menguasai (mayoritas) dalam Congress (legislatif). Di Britania Raya, pimpinan mayoritas dalam parlemen (legislatif) otomatis merebut kursi perdana menteri (Primer Minister, Downing Street No. 10, London).

Sistem dwi partai politik kebanyakan digunakan di negara yang memiliki pengalaman demokrasi paling lama seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Bentuk paling sederhana sering dicontohkan pada sistem pemilu di Amerika Serikat di mana sistem plural murni memaksa kedua partai politik untuk berkompetisi memenangkan pemilu di tiap negara bagian. Partai politik yang lebih dahulu memenangkan pemilu di negara bagian tertentu akan menjadi pemenang mutlak, meniadakan kesempatan partai politik lawan untuk duduk di dalam kongres (parlemen). Hanya partai politik besarlah yang mungkin berkontes dalam pemilu sehingga partai politik kecil dengan sendirinya akan terpinggirkan. Logika berpikir seperti ini membuat kelangsungan 2 partai politik di Amerika Serikat, Republik dan Democrat, bertahan lebih dari 200 tahun lamanya.

Uniknya, sistem pemilu dwi partai Amerika Serikat membedakan antara pemilihan umum partai politik dengan pemilihan figur elit partai dalam mengisi jabatan Kongres (Senat dan Perwakilan Negara Bagian). Pembedaan ini seringkali membuka peluang bagi voters (pemilih) untuk memilih partai politik dan figur elit partai secara terpisah atau sering disebut sebagai split ticket. Demi menghindari terjadinya efek split ticket yang merugikan partai politik, maka partai politik akan berlomba untuk memelihara dukungan faithfull voters (pemilih loyal) di negara-negara bagian tertentu daripada berusaha setengah mati menarik simpati unfaithfull voters. Namun demikian, untuk mengantisipasi pindahnya suara ke partai politik lawan akibat split ticket, partai politik memandang bahwa figur politik popular akan menarik simpati lebih mudah daripada partai politik itu sendiri. Sehingga sering dijumpai, partai politik berkonsentrasi mengkampanyekan figur politik ketimbang partai politik itu sendiri pada beberapa negara bagian tergolong memiliki banyak unfaithfull voters. Selebihnya partai politik berlomba untuk menarik dukungan serta mengambil keuntungan pemilih dari negara bagian berjumlah penduduk namun masuk dalam kategori unfaithfull voters. Negara-negara bagian seperti ini disebut sebagai “swing states.”

Strategi fokus pada figur dapat menghasilkan partai politik pemenang pemilu secara nasional berbeda dengan figur elit partai yang duduk di parlemen. Parlemen akan diisi oleh figur elit partai politik terpilih walaupun dari partai politik kalah dalam pemilu. Sehingga sistem pemilu Amerika Serikat menghasilkan parlemen anti-majoritarian, karena mengesampingkan suara rakyat terbanyak. Contoh paling mudah dijumpai pada sistem politik Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush dan Dick Cheney, di mana setelah hasil pemilu antar waktu tahun 2007, Kongres sudah tidak dikuasai lagi oleh partai politik Republican sebagai partai politik pendukung presiden dan wakil presiden terpilih. Akan tetapi anggota Kongres didominasi oleh partai oposan yaitu Democrat.
Sistem pemilu proporsional murni dapat dijumpai di negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana partai politik akan menyusun daftar urut figur elit partai politik. Dengan nomor urut semacam itu, figur dengan nomor urut teratas akan memiliki kesempatan lebih besar untuk menduduki kursi di parlemen apabila partai politiknya menang di suatu daerah pemilihan. Dalam sistem pemilu proporsional semua partai politik sejauh telah memenuhi ketentuan electoral threshold yang ditentukan perundangan pemilu, dapat berkontes dalam pemilu berikutnya. Pembentukan partai politik baru demi mewadahi aspirasi masyarakat yang tidak tertampung dalam partai politik besar sangat terbuka. Sehingga keterwakilan masyarakat beragam dapat dipenuhi di dalam parlemen walaupun hanya 1 kursi perwakilan saja. Namun demikian kelemahan sistem ini seringkali diakibatkan oleh ketidakterbukaan sistem pemilu dalam mengemukakan urutan daftar figur elit partainya, sehingga masyarakat merasa dikecewakan ketika figur politik pilihannya ternyata tidak dapat menduduki kursi di parlemen.

Sistem pemilu proporsional murni dapat dijumpai di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dimana partai politik akan menyusun daftar urut figur elit partai politik. Dengan nomor urut semacam itu, figur dengan nomor urut teratas akan memiliki kesempatan lebih besar untuk menduduki kursi di parlemen apabila partai politiknya menang di suatu daerah pemilihan. Dalam sistem pemilu proporsional semua partai politik sejauh telah memenuhi ketentuan electoral threshold yang ditentukan perundangan pemilu, dapat berkontes dalam pemilu berikutnya. Pembentukan partai politik baru demi mewadahi aspirasi masyarakat yang tidak tertampung dalam partai politik besar sangat terbuka. Sehingga keterwakilan masyarakat beragam dapat dipenuhi di dalam parlemen walaupun hanya 1 kursi perwakilan saja. Namun demikian kelemahan sistem ini seringkali diakibatkan oleh ketidakterbukaan sistem pemilu dalam mengemukakan urutan daftar figur elit partainya, sehingga masyarakat merasa dikecewakan ketika figur politik pilihannya ternyata tidak dapat menduduki kursi di parlemen.

Sistem multi-partai seperti di Jerman dan Perancis membutuhkan banyak partai untuk terlaksananya proses demokrasi yang mewadahi kepentingan masyarakat yang heterogen. Multi-partai mendorong partai politik untuk berkompetisi sehat meraih dukungan voters. Partai-partai politik kecil di negara-negara Barat tersebut cenderung beraliansi dengan partai politik besar berideologi ekstrem seperti konservatif, liberalis dan radikal demi pemenangan pemilu. Sebagai contoh di negara Perancis, partai politik berhaluan konservatif seperti Union for a Popular Movement merupakan hasil merger dari beberapa partai politik kecil beraliran konservatif (Rally for the Republic dan Union for French Democracy).

Di lain pihak, partai politik berhaluan sosialis komunis seperti Socialist Party and French Communist Party memiliki ideologi liberal atau radical. Karena Perancis memiliki Presiden sebagai kepala negara (head of state) dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan (prime minister), tidak jarang dalam satu periode pemerintahan presiden dan perdana menteri berasal dari partai politik yang berbeda seperti Perancis pada tahun 1997, di mana Presiden Jacques Chirac seorang konservatif memiliki perdana menteri Lionel Jospin berhaluan sosialis. Selanjutnya sistem partai politik ditinjau dari polarisasi kepentingan menghasilkan 3 jenis partai politik, yaitu:

1)      Konsensual, di mana partai politik berkonsensus, menjauhi konflik dalam merumuskan kebijakan bagi kepentingan politik nasional. Sebagai contoh partai politik semacam ini dapat dijumpai di Amerika Serikat dan Inggris.

2)      Konflitual, di mana partai politik bersaing, saling menjatuhkan dalam perumusan kebijakan nasional. sebagai contoh di negara Rusia.

3)      Konsosiasional, tipe semacam ini merupakan kompromi antara kedua jenis partai politik ekstrem pada kutub berbeda dengan mensyaratkan kehadiran figur pemimpin politik yang mampu mendamaikan dan diterima kedua partai politik. Dasar pembentukan partai politik konsosiasional tersebut diambil dari teori demokrasi konsosiasional Arendt Lijphardt (1997).

Lain halnya dengan sistem kepartaian kompetitif seperti di atas, sistem kepartaian non-kompetitif. Negara seperti Cina memiliki sistem kepartaian tunggal dimana Partai Komunis Cina (PKC) mendorong sistem politik otoriter. Agregasi kepentingan politik sistem kepartaian non-kompetitif cina berada di level bisnis, tuan tanah, dan kelembagaan di birokrasi dan militer. Ruang bagi rakyat untuk agregasi politik tidak terbuka sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk memilih partai alternatif. Sistem kepartaian seperti di Cina dan kebanyakan negara berhaluan komunis di masa lalu tersebut terbagi menurut derajat kontrol partai politik terhadap kelompok-kelompok kepentingan yang ada dalam sistem politik, yaitu partai politik berkuasa secara eksklusif dan inklusif. Secara ekslusif, partai politik berkuasa (governing party) akan memaksakan kontrol terhadap sumber daya politik melalui tangan kepemimpinan partai. Ciri dari sistem kepartaian ekslusif ini adalah mempengaruhi rakyat dengan cara penggalangan mobilisasi besar-besaran dan meniadakan keberagaman kepentingan yang mungkin timbul. Sedangkan ciri dari sistem kepartaian inklusif berusaha untuk mewadahi aneka kepentingan dari kelompok sosial dalam masyarakat dengan menerima beberapa agregasi kepentingan, sementara kepentingan yang dirasa tidak perlu ditekan sedemikian rupa dengan pelarangan bagi pihak yang menentang kuasa pemerintah.

Lain dari itu, sistem politik Anglo saxon yang biasanya di dominasi 2 partai politik kuat sehingga yang kalah akan menjadi oposisi untuk mengimbangi partai berkuasa (ruling party), Indonesia sebaliknya menganut sistem multi partai. Konsekuensi dari sistem politik ini adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat yang didukung parlemen diperlukan koalisi partai politik yang mempunyai platform yang sama. Berbicara tentang partai oposisi (the party in opposition) tidak bisa lepas dari kultur-sistem politik, terutama sistem-kultur kepartaian (party-system) yang dianut (berlaku) di suatu negara. Yang hakiki dalam adanya partai oposisi, adalah adanya pengakuan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Terutama tentang power (kekuasaan) yang melibatkan nasib bangsa (masyarakat), itu perlu kultur-sistem checks & balances. “Power tends to corrupt — absolute power corrupts absolutely”, kata Lord Acton. “History is past politics — present politics future history”, kata Sir John Seely. Ada dua kemungkinan kepemimpinan politik dalam sistem politik yang tidak mengakui (mengenal) adanya partai oposisi; “Ratu Adil”, atau diktator-tiran! Checks & balances, itulah salah satu substansi demokrasi modern.

Adanya partai oposisi melekat kuat dengan sistem dua partai (two-party system) dan sistem banyak partai (multi-party system), bukan dengan “sistem satu partai” (“one party system”) yang contradictio in terminis dan otoriter-totaliter. Kedua sistem dua partai dan sistem banyak partai sama-sama mensyaratkan adanya partai oposisi (the party in opposition) secara jelas dan tegas serta lugas, kalau tidak begitu maka pada hakikatnya sama saja dengan “sistem satu partai” meskipun bisa saja terdapat jumlah (struktur, format) lebih dari adanya hanya satu partai. Dalam demokrasi semu bisa terjadi, formalnya berlaku sistem banyak partai tapi faktual-aktualnya berlaku “sistem satu partai” tanpa adanya checks & balances. Adanya partai oposisi di negara-negara demokratis-modern bukan hanya lumrah tapi harus; oposisi adalah bagian dari paritisipasi, tidak ada partisipasi berarti tidak ada demokrasi! Tugas partai oposisi tidak kalah penting dibanding dengan tugas partai pemerintah (the party in power).

Contoh-contoh di Inggris, Kanada, Australia ketua partai oposisi merupakan jabatan yang penting dan terhormat serta diberi uang kehormatan oleh negara. Menjalankan tugas oposisi tidak sama dengan secara membabibuta (hantam kromo) melakukan sabotase dan/atau subversi. Oposisi politik ada aturan mainnya (bukan teror politik!). Beroposisi politik berarti secara lugas-jelas-tegas melakukan kontrol, koreksi, kritik terhadap pemerintah demi kepentingan publik. Baik partai pemerintah maupun partai oposisi sama-sama adalah partai politik yang legal, yang eksistensi-fungsinya sama-sama dijamin undang-undang dan kebiasaan (konvensi-tradisi) politik negeri. Rezim yang menutup pintu untuk adanya partai oposisi, bisa berarti membuka jendela untuk adanya konspirasi (komplotan), rebelli, putsch, coup d’etat, dan bahkan revolusi. Hakikat manusia dan kebebasan, selalu mencari celah untuk bebas (bukan liar!).

Dalam rezim otoriter-totaliter yang mempraktikkan “sistem partai tunggal” (dengan segala modifikasinya), pergantian penguasa (the ruling elite) biasa dilakukan dengan perebutan kekuasaan yang penuh rahasia dan sering kali keras dan bahkan ganas. Ketertutupan mengundang ketertutupan, kekerasan mengundang kekerasan, pengkhianatan mengundang pengkhianatan!

Logika dan etika politik yang berlaku di negara-negara modern demokratis; sistem mekanisme demokrasi dikatakan jalan, hanya kalau masing-masing partai politk (berdasarkan undang-undang dan aturan main) dimungkinkan (berdasarkan pilihan rakyat) utuk secara bergantian menjadi partai pemerintah. Maka karakteristik dari sistem banyak partai adalah: (1) terdapat jumlah (struktur) lebih dari dua partai politik, (2) praktik politik “dagang sapi” di kalangan partai-partai politik dalam proses pembentukan kabinet, (3) watak perwakilan (representasi) dalam tubuh kabinet, kabinet koalisi atau kabinet yang terdiri dari blok-blok partai politik yang berkoalisi, (4) kekuatan politik yang terbagi (shared-partial power) dalam tubuh kabinet, (5) kabinet labil, sewaktu-waktu terancam perpecahan dari dalam tubuhnya sendiri.

Negara-negara di Eropa barat merupakan kawasan utama dari sistem banyak partai, dengan ideologi partai sebagai landasannya.

Begitulah sekilas saja tentang reformasi dan oposisi secara lugas, dengan harapan lebih mencerahkan dan mencerdaskan wawasan politik masyarakat umum. Sedangkan di Indonesia sendiri sejauh ini, masih juga belum nyambung (unmatched) antara sistem konstitusional (UUD 1945) yang menganut sistem kabinet presidensial (yang cocok dengan sistem dua besar) dengan warisan kultur praktik kepartaian yang justru ultra multi partai. Jangan skeptis-pesimistis, sejarah masih panjang

2. Sistem Kepartaian dan Presidensialisme Indonesia


Dalam literatur dikenal beberapa sistem kepartaian yang berlaku di berbagai negara yakni nonpartisan system, single-party systems, dominant-party systems, Two-party systems, dan Multi-party systems. Tidak semua negara sepakat dalam menggunakan sistem itu. Beberapa negara yang menjalankan sistem multi partai tetapi kenyataannya hanya satu partai yang dominan seperti Singapore dengan PAP-nya atau seperti Indonesia di masa Orde Baru dengan Golkar. Negara-negara lain (yang juga multi partai) seperti Amerika Serikat, dalam kenyataannya menggunakan two dominant-party system dengan Partai Republik dan Demokrat. Hal yang sama terjadi di Inggris dengan Partai Buruh dan Konservatif.

Pertanyaanya, bagaimana dengan Indonesia? Pertama, Indonesia menganut sistem multi partai, dengan sistem pemilu yang berlaku maka semua partai itu punya peluang mendapat kursi baik di DPR maupun DPRD. Kedua, upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Hal ini mengingat Electoral Treshold (ET) tidak dijalankan secara konsekuen. Dengan konsep ET yang lama (meski banyak dikritik) hanya 7 parpol lama yang langsung lolos. Ketentuan itu telah dianulir dalam Pemilu No.10/2008. Ketiga, sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol bersatu tergantung pada isyunya. Keempat, terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan gubernur. Kasus Maluku Utara jadi contoh paling jelas. Salah satu pasangan didukung oleh partainya Presiden yakni Partai Demokrat. Pasangan lainnya didukung oleh Partainya Wakil Presiden yakni Partai Golkar dan PAN. Keempat partai ini sama-sama mengisi kabinet di pusat. Kondisi yang sama berlangsung di provinsi dan kabupaten/kota di provinsi tersebut. Begitu juga antar daerah. Satu parpol di satu provinsi berkoalisi dengan parpol lain yang menjadi lawannya di provinsi yang berbeda. Terlihat jelas dari semua paparan di atas. Sistem kita dibangun lebih banyak atas kepentingan pragmatis, bersifat temporer, dan tidak konsisten.

Sistem kepartaian pada dasarnya tidak terpisah dari sistem pemilu. Secara teoretis, sistem kepartaian bahkan merupakan produk dari pilihan terhadap sistem pemilu. Hanya saja bangsa kita tak pernah konsisten mengimplementasikannya. Pembicaraan dan diskusi tentang sistem kepartaian hampir selalu mendahului kesepakatan mengenai sistem pemilihan.

Dalam perjalanannya Indonesia mengalami perdebatan panjang pilihan diterapkannya sistem pemilihan. Complicated permasalahan dan beragam pertimbanganlah yang kemudian mengantarkan Indonesia untuk memilih salah satu sistem yang diterapkannya. Pada masa berlakunya sistem parlementer, kombinasi yang digunakan adalah sistem pemilu proportional representation dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya partai saja yang diberikan kesempatan menjadi kontestan pemilu, akan tetapi individu (Perorangan) juga diberi kesempatan untuk mencalonkan diri. Pemilu pada era ini dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis selama pemerintahan di Indonesia. Walaupun demikian, partai politik yang dihasilkan melalui pemilu demokratis ini dianggap telah menyalahgunakan kesempatan berkuasa, karena terlalu mementingkan kepentingan serta ideologi masing-masing kelompok, sehingga gagal menciptakan suasana yang stabil yang kondusif untuk pembangunan secara berkesinambungan. Karena pendeknya usia setiap kabinet sebagai akibat ulahnya partai-partai, tidak mungkin bagi pemerintah menyusun dan melaksanakan suatu rencana kerja secara mantap (Azed, 2000; 23-29).

Masalah jumlah ideal parpol sudah menjadi perdebatan sejak awal kemerdekaan. Setelah proklamasi negara Republik Indonesia dibacakan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pecah ketidaksepakatan di antara founding fathers soal jumlah ideal parpol. Sebagian ingin menganut sistem monopartai (partai tunggal) dan lainnya menghendaki sistem multipartai (banyak partai). Tokoh utama penggagas monopartai adalah Presiden Soekarno, sedangkan sistem multipartai ditokohi Wakil Presiden Mohammad Hatta. Perdebatan dimenangkan pendukung multipartai setelah Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada awal November 1945 mendesak pemerintah mengeluarkan peraturan yang mendorong seluruh bangsa Indonesia mendirikan parpol-parpol baru untuk mengikuti Pemilu yang rencananya diadakan bulan Januari 1946.
Jadwal pelaksanaan Pemilu mengalami pengunduran dan baru dilaksanakan tahun 1955. Meski Pemilu diundur, tetapi sejak 3 November 1945 Indonesia memilih sistem multipartai.

Banyak yang kecewa terhadap sistem multipartai karena pengurus parpol asyik bermain dengan syahwat kekuasaannya. Tercetus istilah praktik dagang sapi guna menyindir politisi. Di sini Presiden Soekarno kembali hadir sebagai tokoh penting yang menentang sistem multipartai. Dektrit Presiden 4 Juli 1959 menghidupkan kembali UUD 1945, Soekarno dalam usaha membentuk demokrasi terpimpin menyatakan beberapa tindakan antara lain menyederkanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai. Penyederhanaan dilakukan dengan mencabut Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945, melalui Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 tahun 1959 ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Pada tahun 1960 jumlah partai yang memenuhi syarat tinggal 10 partai. Setahun usai Pemilu 1955, ia mengobarkan semangat mengubur parpol-parpol. Lima tahun kemudian 26 parpol dikubur (baca: dibubarkan) dari 36 parpol peserta Pemilu 1955. Sepuluh parpol yang selamat adalah PNI, Nahdatul Ulama, PKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, Murba, dan Partindo.

Soekarno digantikan oleh Jenderal Soeharto. Orde Baru dengan sistem pemerintahan Presidensialisme, menerapkan sistem pemilihan proporsional dengan daftar tertutup kombinasi dengan sistem multipartai yang berangsur-angsur disederhanakan. Selain sistem proporsional tertutup yang digunakan, modifikasi sistem pemilihan yang digunakan Orde Baru adalah melalui pengangkatan utusan golongan/daerah (Marijan, 2002; 4).

Meski sudah tidak berperan lagi, tetapi gagasan Soekarno bahwa sistem multipartai tidak cocok untuk Indonesia justru berkembang pesat. Banyak yang percaya bahwa krisis politik merupakan akibat dari kegagalan manajemen konflik dalam sistem multipartai. Aksi penguburan parpol ala Soekarno berlanjut. Korbannya PKI dan partai-partai berhaluan kiri lainnya. PKI dibubarkan karena divonis sebagai dalang kudeta G30S. Ada polemik tersembunyi di antara pendukung Orde Baru pada saat itu yang. menyangkut sistem kepartaian. Dua gagasan bertarung, yakni mempertahankan sistem multipartai atau menggantinya dengan sistem dwipartai. Di dalam sistem dwipartai hanya ada dua parpol, yaitu parpol yang memerintah dan parpol yang beroposisi. Para pimpinan parpol menolak sistem dwipartai karena akan memaksa mereka untuk bergabung atau membubarkan diri. Penolakan mereka diakomodir oleh Presiden Soeharto yang sangat membutuhkan dukungan mereka. sistem multipartai tetap dipertahankan pada Pemilu 1971.

Pada awalnya, penyederhanaan Sistem Multipartai Orde Baru dilakukan dengan suatu kompromi (Konsensus nasional) antara pemerintah dan partai-partai pada tanggal 27 Juli 1967 untuk tetap memakai sistem perwakilan berimbang, dengan beberapa modifikasi. Di antaranya, kabupaten dijamin sekurang-kurangnya 1 kursi, dan 100 anggota DPR dari jumlah total 460 diangkat dari ABRI (75), Non ABRI (25). Sistem distrik ditolak dan sangat dikecam parpol, dengan alasan karena tidak hanya dikhawatirkan akan mengurangi kekuasaan pimpinan partai, tetapi juga mencakup ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai anggota parlemen.

Namun, usai Pemilu 1971, Karena kegagalan usaha penyederhanaan partai ketika pemilihan, Orde Baru melakukan pengurangan dengan mengelompokkan dari 10 partai menjadi tiga partai pada tahun 1973, sehingga sejak pemilu 1977 hingga 1992 hanya ada tiga peserta pemilu yakni PPP, Golkar, dan PDI. Presiden Soeharto memaksa seluruh parpol bergabung menjadi ke dalam Golkar atau salah satu dari dua parpol, yakni parpol religius (Partai Persatuan Pembangunan) dan parpol non-religius (Partai Demokrasi Indonesia). Soeharto tidak memikirkan keragamanan beragama. Partai Katolik dan Kristen lebih suka bergabung ke dalam PDI daripada PPP. Praktis PPP menjadi parpol religius berdasarkan agama Islam. Dengan tindakan seperti ini, di satu sisi Orde Baru telah berhasil mengatasi perlunya pembentukan kabinet koalisi, serta tidak adamya lagi fragmentasi partai atau terlalu banyak partai. Tetapi disisi lain masih terdapat kelemahan-kelemahan, diantaranya kekurangan akraban antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Peranan penentu dari pimpinan pusat dalam menetapkan daftar calon dianggap sebagai sebab utama mengapa anggota DPR kurang menyuarakan aspirasi rakyat.

Pengalaman Orde Baru memperlihatkan kegagalan sistem dwipartai yang tidak murni untuk menyehatkan iklim politik. Kondisi coba diperbaiki oleh para tokoh reformasi dengan cara memberlakukan kembali sistem multipartai yang nyaris terlupakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, penerimaan kembali sistem multipartai merupakan prestasi yang biasa. Para tokoh reformasi berhasil menghapus memori negatif generasi Orde Baru terhadap sistem multipartai. Bahkan harapan rakyat terhadap sistem multipartai meningkat sangat tinggi karena dipercaya sebagai obat mujarab untuk memperbaiki keadaan. Sistem Pemilu yang dianut adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk memilih DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih Dewan PerwakilanDaerah (DPD) menggunakan sistem distrik sistem distrik berwakil banyak. Sistem Pemilu ini digunakan sebagai evaluasi sistem yang diterapkan pada masa Orde Baru, dengan harapan rakyat agar pemilihan calon yang diajukan oleh partai politik (parpol) lebih dikenal oleh pemilihnya. Namun sudah dua kali Pemilu (1999 dan 2004), harapan itu tidak kunjung tiba. Beberapa survei memperlihatkan penurunan kepercayaan rakyat terhadap sistem multipartai. Kadar penurunannya belum sebesar dekade pasca-Pemilu 1955 (Hestu, 2005; 7).

Dari pengalaman-pengalaman di atas yang menjadi dasar keberadaan sistem kepartaian, lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi: (1) Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda; (2) Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih (Ben Reilly,1999; 25).

Banyak negara maju yang memiliki pengalaman sejarah sama dalam membangun sistem demokrasi seperti Indonesia, misalnya; Argentina, Chile, Brazilia, Polandia dan Amerika. Akhirnya mereka juga mengambil langkah yang paling tepat dalam negara demokrasinya yaitu: menyederhanakan sistem multi partainya, menjadi 2 atau 3 partai. Alasannya; Pemerintahan sistem presidensill menjadi lebih efective, Suara bias dari multi partai dapat dibendung dan lebih sinergis, Sistem pemerintahan yang cenderung Parlementer akibat multi partai dapat dihindari. Dalam sistem presidensial yang berdasarkan sistem multipartai, bila tidak ada partai politik yang meraih suara mayoritas di parlemen, koalisi merupakan suatu yang tidak bisa dihindari. Ia bisa dikatakan sebagai suatu keniscayaan. Bila tidak, kemungkinan efektivitas pemerintahan akan terganggu. Karena itu, koalisi merupakan ”jalan penyelamat” bagi sistem pemerintahan presidensial yang menganut sistem multipartai. Dalam bahasa Arend Lijphart, model seperti ini merupakan bagian dari demokrasi konsensual.

Mainwaring dan Linz mengatakan bahwa akan ada problem manakala sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan ”jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif- legislatif. Karena itu, sistem presidensial lebih cocok menggunakan sistem dwipartai. Dengan menggunakan sistem ini, efektivitas dan stabilitas pemerintahan relatif terjamin. Berbeda dengan kedua ahli di atas, Arend Lijphart mengatakan bahwa sistem multipartai juga bisa menghasilkan sistem demokrasi presidensial yang efektif dan stabil.

Kondisi itu, menurutnya, bisa diatasi dengan cara mengembangkan demokrasi konsensual (demokrasi konsensus). Lijphart memberikan contoh antara lain dengan membangun koalisi pemerintahan (kabinet) di antara partai-partai politik. Bagaimana dengan Indonesia?

Dampak multi partai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara Executif dan Legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran Legislatif lebih dominan dalam sistem multi partai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bias dengan kepentingan primordial masing-masing. Menyamakan visi dan misi dari 42 partai, dengan ideologi dan kepentingan yang sangat mendasar perbedaannya akan sangat sulit dicapai. Peran DPR, tak lebih sebagai opposisi yang selalu menentang pemerintah misalnya; masalah politik LN Indonesia terhadap program nuklir Iran. Lain halnya dengan masalah Rancangan UU Kamnas, DPR lebih bersikap apatis.

Di dunia ini, selain Indonesia, hanya ada satu negara, Cile, yang bertahan dengan sistem presidensialisme dan multipartai. Karena itu, banyak yang mendukung penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia, dengan mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu. Tujuannya agar pemerintahan bisa lebih efektif dan stabil.

Jika ditelusuri, gabungan presidensialisme dan sistem multipartai tidak sefatal seperti yang diperkirakan. Berbagai pendapat tentang ketidakcocokan antara sistem multipartai dan presidensialisme mengacu studi Scott Mainwaring (1993). Mainwaring menunjukkan, dari seluruh demokrasi di dunia, hanya Cile yang mampu mengawinkan secara stabil presidensialisme dengan sistem multipartai. Menurut Mainwaring, penggabungan presidensialisme dengan multipartai berpotensi menyebabkan kebuntuan dan instabilitas pemerintah.

Potensi buntu lebih besar dalam sistem multipartai presidensial dibandingkan multipartai parlementer karena di dalam sistem presidensialisme yang multipartai jarang sekali presiden terpilih didukung mayoritas pemegang kursi parlemen sehingga jumlah oposisi di parlemen sering lebih besar dibandingkan partai pendukung presiden. Pertanyaannya, bukankah bisa dibangun koalisi untuk mendukung presiden?

Koalisi pendukung presiden dalam sistem presidensialisme tidak stabil. Karena, pertama, koalisi pemerintahan dan elektoral sering berbeda. Dalam koalisi pemerintahan, parpol tidak bertanggung jawab menaikkan presiden dalam pemilu sehingga parpol cenderung meninggalkan presiden yang tidak lagi populer. Kedua, pemilu presiden selalu ada di depan mata sehingga partai politik berusaha sebisa mungkin menjaga jarak dengan berbagai kebijakan presiden, yang mungkin baik, tetapi tidak populis. Alasan ketidakcocokan ketiga, kemungkinan jatuhnya pemerintah secara inkonstitusional. Besarnya peluang pergantian pemerintah secara inkonstitusional amat relatif karena dalam sistem presidensialisme amat sulit menurunkan presiden terpilih. Karena itu, pihak-pihak yang tidak puas dengan kinerja pemerintah cenderung menggunakan jalur inkonstitusional untuk mengganti pemerintahan.

Kekhawatiran itu belum ditemukan di Indonesia. Meski hubungan antara eksekutif dan legislatif tak sepenuhnya mulus, eksekutif tetap berhasil meloloskan aneka kebijakan terpentingnya. Ada dua alasan utama mengapa kita tidak perlu terlalu takut dengan sistem multipartai presidensial di Indonesia. Pertama, sistem multipartai presidensial mempunyai potensi dan aspek positif. Artinya, tingginya tingkat kompetisi antarpartai mendorong parpol bekerja lebih keras guna menarik suara, semakin banyak pilihan parpol untuk publik, dan kian stabilnya pemerintah karena presiden tidak mudah dijatuhkan parlemen seperti awal masa reformasi di Indonesia. Kedua, studi Mainwaring tentang ketidakefektifan dan ketidakstabilan sistem multipartai presidensial diperbaiki Jose Antonio Cheibub (2007) dalam studinya tentang presidensialisme dan kepartaian. Cheibub menunjukkan, hubungan antara sistem pemerintahan dan kepartaian tidak sesederhana yang disebut Mainwaring.

Menurut studi Cheibub, sistem parlementer multipartai terlihat lebih efektif dalam proses legislasinya karena perdana menteri dalam sistem parlementer yang ada di bawah ancaman pemakzulan amat berhati-hati dalam mengajukan usulan kebijakan atau undang-undang. Sementara itu, dalam sistem presidensialisme, presiden tidak perlu terlalu takut mengajukan kebijakan karena tidak ada ancaman pemakzulan yang serius dari parlemen. Karena itu, persentase keberhasilan meloloskan undang-undang jauh lebih tinggi pada sistem multipartai parlementer dibandingkan sistem multipartai presidensial.
Cheibub menemukan, ketika faktor seperti umur dari demokrasi atau pendapatan per kapita dimasukkan dalam perhitungan dan analisis, koalisi dari pemerintahan tidak lagi berpengaruh terhadap keefektifan proses legislasi. Cheibub juga menyimpulkan, risiko instabilitas suatu pemerintah, baik presidensial maupun parlementer, tidak dipengaruhi oleh apakah pemerintah itu satu, dua, atau multipartai.

Pengurangan jumlah partai politik tidak perlu dipaksakan. Sistem kepartaian yang lebih sederhana tanpa disertai kedewasaan politik elite dan publik belum tentu membuat pemerintahan lebih efektif dan stabil. Masing-masing elite politik mempunyai kepentingan dan akan berusaha memperoleh kepentingannya. Sementara itu, publik yang secara politik belum dewasa akan mudah diperalat elite untuk ”menggoyang” pemerintah. Yang diperlukan Indonesia bukan pengurangan jumlah parpol, tetapi pendidikan politik yang berkualitas dan reformasi parpol sehingga aktor demokrasi Indonesia makin dewasa secara politik. Yang dimaksud dewasa adalah mempunyai pengetahuan politik yang cukup, mempunyai akses informasi politik yang memadai, memiliki kemampuan bernegosiasi dan bermufakat dalam kerangka peraturan yang ada, serta mengindahkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi yang didasarkan kesadaran bahwa kepentingan jangka panjang individu bergantung pada kepentingan publik. Jumlah partai politik akan berkurang sampai pada jumlah yang tepat sejalan peningkatan kedewasaan politik para elite dan publik.

Berbicara tentang koalisi pemerintahan di Indonesia,sesungguhnya pola ini bukan hal yang baru di negeri ini. Pada awal kemerdekaan, ketika pemerintahan menganut sistem parlementer, kabinet yang terbentuk merupakan hasil koalisi antara partai-partai di parlemen saat itu.

Dalam ilmu politik, secara garis besar koalisi dikelompokkan atas dua. Pertama, policy blind coalition, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan, tetapi untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking). Kedua, policy-based coalition, yaitu koalisi berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasi (policy seeking). Kecenderungan yang terjadi dalam era Reformasi ini, format koalisi yang dibangun adalah bentuk yang pertama. Koalisi tidak berdasarkan pertimbangan kebijakan, melainkan hanya untuk meraih kekuasaan. Koalisi yang dibentuk lebih didasarkan pada pragmatisme politik.

Memang ada sisi positif dalam koalisi yang selama ini dibentuk, yakni runtuhnya ”sekat-sekat ideologis”. Koalisi seperti ini merupakan bentuk koalisi pragmatis dan jangka pendek. Mereka bergabung hanya untuk kepentingan kekuasaan ansich. Dengan fondasi seperti ini, tidak aneh bila di antara pendukung koalisi itu sendiri terjadi perbedaan pandangan dalam mengusung suatu kebijakan.

Dalam konteks itu, acap parpol pendukung koalisi dengan tanpa merasa bertanggung jawab ––sebagai bagian dari koalisi–– tidak merasa bersalah menentang kebijakan pemerintah. Itulah realitas yang terjadi. Memang dalam koalisi di mana pun, bagi-bagi kekuasaan tidak bisa dihindari. Namun, dengan fokus pada platform, pengejaran kekuasaan akan digiring ke arah yang menguntungkan rakyat. Sudah saatnya partaipartai duduk bersama membicarakan program-program membangun bangsa ini ke depan agar lebih baik dari sekarang.

Keinginan untuk melakukan terobosan terhadap penguatan sistem presidensialisme Indonesia sekaligus pelembagaan sistem kepartaian, melalui pembentukan koalisi parpol yang lebih permanen. Kedua dari sisi substansi, sudah selayaknya untuk diberikan apresiasi.


C. PENUTUP

Beranjak dari penerapan sistem presidensialisme Indonesia dan efektivitas pemerintahan, jika model pemilihan lama –Legislatif terlebih dahulu dibandingkan Pilres– dipertahankan. Sebagai kategori, hal tersebut disebut pemilu yang terpisah. Sedangkan kategori lain yang ingin ditawarkan adalah pelaksanaan pemilu nasional (Presiden dan DPR) secara serentak.

Baik pemisahan maupun keserentakan pelaksanaan pemilu, sama-sama bertitik temu pada concern yang sama agar terbentuk pemerintahan yang stabil, parlemen yang efektif, dan sekaligus pembangunan lembaga kepartaian. Adanya dukungan politik DPR bagi presiden terpilih ternyata menjadi variabel penting yang tidak bisa diabaikan. Didasari ketentuan konstitusi yang menyatakan, kewenangan pembuatan UU bersama-sama ada pada Presiden dan DPR, begitu juga dengan kebijakan-kebijakan lainnya. Situasi ini menunjukkan bahwa, separation of power -dimana kekuasaan dari suatu cabang pemerintahan akan membatasi kekuasaan yang lain- bukan menjadi prinsip dasar sistem pemerintahan presidensialisme kita. Melainkan convergence of power, di mana antara cabang-cabang kekuasaan saling berkolaborasi untuk menghasilkan undang-undang atau suatu kebijakan. Kondisi inilah yang disebut sebagai fenomena “parlementarisasi presidensialisme”. Hal demikian terjadi karena, presiden yang harusnya kuat atau paling tidak setara posisinya dengan DPR, justru menjadi lemah. Sehingga yang muncul bukan kolaborasi, namun justru dominasi DPR terhadap presiden.

Fakta politik dan sistemik ini tentu memerlukan terobosan baru. Karena sistem presidensialisme dengan multipartai sederhana atau tidak, sebenarnya bukan jaminan bagi efektivitas suatu pemerintahan. Tidak juga bagi pemerintahan yang didasarkan pada prinsip separation of power plus sistem dua partai sekalipun. Pengalaman negara-negara Amerika Latin, memberikan pelajaran yang baik untuk itu. Agar pemerintahan berjalan efektif dalam sistem presidensialisme multipartai, maka pelaksanaan pemilu nasional secara serentak dipakai sebagai cara. Karena efektivitas pemerintahan itu sendiri dipengaruhi oleh tingkat interaksi dan heterogenitas antar kekuatan politik yang ada. Sehingga, tidak tergantung pada multi tidaknya sistem kepartaian yang diterapkan, keserentakan pelaksanaan pemilu, justru dimaksudkan untuk menciptakan demokrasi konkordans (konsensual). Tujuannya, adalah mendorong keterlibatan sebanyak-banyaknya aktor masyarakat dalam proses politik, dalam rangka meraih keputusan lewat konsensus. Tipe ini merupakan tandingan dari demokrasi mayoritas seperti yang terjadi di Amerika Serikat (the winner take all).

Sama dengan di Indonesia, presidensialisme Amerika Latin juga dianggap sebagai sistem politik alamiah. Karena, faktor pemilihan presiden dianggap yang terpenting dan memberi pengaruh pada pemilihan legislatif, termasuk terhadap sistem kepartaian. Keeratan kaitan antara ketiga variabel tersebut (presiden-parlemen-sistem kepartaian), merupakan efek ketergantungan yang dapat diatasi ataupun diukur melalui dua derajat keserentakan; waktu pelaksanaan, dan kertas suara pencoblosan yang sama. Semakin serentak pelaksanaan pemilu, maka semakin tinggi isu pemilihan presiden dalam mempengaruhi pemilihan anggota legislatif, dan tingkat konsentrasi sistem kepartaian yang akan dihasilkan.

Bergantung dengan sistem apa – pluralitas, mayoritas, ataupun runoff With Reduced threshold/mayoritas bersyarat- keserentakan pelaksanaan pemilu dikombinasikan, tentu dipengaruhi oleh kondisi obyektif dan tujuan yang ingin dicapai. Karena masing-masing sistem, akan memberi dampak yang berbeda. Jika bertujuan terhadap munculnya insentif bagi pembentukan koalisi atau aliansi partai yang permanen, penyederhanaan sistem kepartaian, kesederhanaan tata cara pemilihan, dan biaya yang lebih murah. Maka kombinasi keserentakan pemilu dengan sistem runnof with a reduced threshold menjadi suatu alternatif yang efektif. Dalam sistem ini, terjadi penurunan batas minimal perolehan suara di bawah ketentuan sistem Mayoritas (50 persen plus satu). Efek langsung dari kombinasi ini antara lain; pertama, besarnya peluang presiden untuk terpilih langsung dengan tingkat legitimasi pemilih dan dukungan parlemen yang signifikan. Ini terjadi karena adanya efek “coattails”, di mana preferensi pemilih terhadap kandidat presiden, biasanya akan diberikan kepada calon legislatif atau calon dari daftar partai yang sama. Kedua, mendorong strategi baru bagi partai politik untuk membangun koalisi atau aliansi yang berjangka panjang, sekaligus berguna bagi penyederhanaan sistem kepartaian. Ketiga, penciptaan preferensi dan isu yang lebih tepat terhadap pemilih. Keempat, menciptakan tata cara pemilihan yang lebih sederhana sekaligus pembiayaan pemilu yang murah, karena putaran kedua jarang terjadi.

Jadi salah satu persoalan yang mendasar yang harus dipecahkan untuk membuat sistem presidensial yang kuat adalah, harus dibenahi sistem kepartaian dan sistem Pemilu Legislatifnya. Ketiga paket UU Politik, harusnya sinergis agar interaksi politik antara eksekutif dan legislatif mengarah pada efektivitas pemerintahan. Sayang mungkin kita belum (akan) menemuinya pada Pemilu legislatif dan Pilpres periode mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

Arbi Sanit, 1997, Partai, Pemilu dan Demokrasi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Azed, Abdul Bari (Ed), 2000, Sistem-sistem Pemilihan Umum Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta; FH UI.
Bulkin, Farchan, 1998, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta; LP3ES
Fatah, Eep Saefulloh Pemilu dan Demokrasi: Belajar dari Sejarah Pemilu-Pemilu, http://www.cetro.com , 4 Agustus 2003
Fatah, Eep Saefulloh Tiga Tingkat Otonomi, Harian Republika 20 September 2004
Gaffar, Affan, 2000, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Gozali Saydan, Dari Balik Suara ke Masa Depan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Hestu CH, 2005, “Mencari Makna Representasi DPD dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Eksistensi DPD-RI dalam rangka Otonomi Daerah diselenggarakan kertjasama DPD RI dan BEM KM UGM, 16 Juni 2005 di Magister Management UGM.
Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988
Imawan,  Riswandha, 1999, “Perilaku Politik Partai Dalam Sistem Multipartai; Ditinjau Berdasarkan Dinamika Kehidupan Politik Dalam Era Reformasi Menjelang Pemilu”,  Makalah Pelatihan Wartawan LP3Y, Jakarta.
Mainwaring, Scott Timothy Scully, 2007, “Institusionalisasi Sistem Kepartaian, Upaya Untuk Mengatasi Paradoks Demokrasi”, Analisis Mingguan, Perhimpunan Pendidikan dan Demokrasi, Vol.1. No.13, Minggu III-Juni.
Prihatmoko, Joko J., 2003, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang; LP2I.
Sugiarto, Bima Arya, “Menuju Institusionalisasi, Menyelamatkan Transisi”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/18/opi01.html, 18 Februari 2002

[1] Staf  Pengajar FH Universitas Negeri Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar